Tik-tok, konon tidak hanya mempopulerkan istilah “quiet quitting” tapi juga “acting/act your wage”. Yang terakhir artinya kita bertindak/bekerja sesuai gaji kita. Menurut artikel “What Is the ‘Act Your Wage’ Trend in the Workplace?” di US News, 2/23/2024, bekerja sesuai gaji diindikasikan ketika kita melakukan kurang dari yang harus dikerjakan dalam bekerja atau hanya menyelesaikan pekerjaan yang memang harus dikerjakan saja. Dengan kata lain, tidak ada semangat untuk “going extra mile” atau tidak ada semangat untuk bekerja ekstra (lebih). Contohnya adalah membatasi kerja sesuai deskripsi kerja saja, menghindari pekerjaan tambahan dan memprioritaskan keseimbangan antara hidup dan kerja (work-life balance) di atas tanggung jawab sesuai posisinya. Atau “enggan melakukan pekerjaan lebih karena tidak akan mendapat pengakuan atau tidak sesuai dengan gaji”. Di tempat kerja saya dulu istilah ini diterjemahkan menjadi kerja yang “sesuai basis” artinya kerja sesuai basic salary atau gaji pokok.
Jelas karyawan seperti “act your wage” adalah kata lain dari karyawan malas. Dalam artikel sebelumnya, saya pun pernah bercerita mengalami situasi saya kehilangan semangat untuk bekerja dan masuk dalam kategori “acting your wage”. Kita sudah bahas dari sisi perusahaan atau pemimpin dalam menghadapi karyawan seperti ini. Selanjutnya, bagaimana menghadapi situasi ini dari cara pandang karyawan?
Karyawan yang bisa memimpin dirinya sendiri akan terbebas “act your wage”. Karyawan seperti ini akan selalu fokus pada proses. Tidak terlalu penting apakah akan ada yang memuji atau mempromosikan. Dengan selalu memperbaiki proses maka akan tercapai hasil yang optimal dan itu cukup menjadi kepuasan sendiri. Proses yang baik dan diperbaiki secara terus menerus tidak akan mengkhianati hasilnya. Karyawan seperti ini juga tidak perlu FOMO (fear of missing out), kalau karyawan lainnya menjadi “act your wage”. Karyawan seperti ini karena menikmati prosesnya akan bersukacita dalam bekerja dan “peers pressure” (tekanan dari rekan kerja yang “act your wage”) menjadi sebuah tantangan yang harus dilampaui, bukan halangan yang membuatnya berhenti.
Karena menikmati proses yang dijalankan, karyawan ini akan belajar dari berbagai sumber (membuka wawasan) untuk bisa memperbaiki proses bukan karena terpaksa atau dipaksa orang lain. Membuka wawasan adalah seperti mendapat asupan makanan pada saat kita lagi lapar, membuka cara pandang dan pikir, serta dapat mendapatkan “AHA moment”. Kegagalan yang mungkin terjadi tidak membuatnya patah semangat, malah justru menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan lebih lanjut.
Karyawan yang telah berhasil memimpin dirinya sendiri adalah karyawan yang berdedikasi tinggi dan pekerja keras (determinity). Mereka tidak akan “burn out” karena selalu bersuka cita (splendor) dalam bekerja. Tidak akan berpamrih untuk mendapat pujian atau jabatan, karena mereka tulus (sincere) dalam bekerja. Bersedia berkolaborasi (collaboration) dengan siapa saja untuk menghasilkan ide-ide baru yang kreatif (creativity).
Anda pilih mana? karyawan yang acting atau yang bisa memimpin dirinya sendiri?
Eko Nugroho
Leadership Coach dan Vice Chairman The Avalon Consulting
31 Agustus 2024
Sumber foto: joycelayman.com