Beberapa hari lalu, saya berdua dengan istri, kami nonton Channel Youtube “Kisarasa” dengan host Chef Juna dan Chef Renata. Channel ini sangat menarik karena menampilkan masakan-masakan khas dari daerah-daerah di Indonesia. Penggemar kuliner Indonesia pasti tidak asing dengan dua Chef tersohor ini. Mereka meliput bukan resto besar dan terkenal, tapi warung-warung kecil yang legendaris di sebuah kota atau daerah. Baik itu di kota besar maupun pelosok-pelosok di tanah air.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah ulasan tentang Kopi Bali House di Sanur, Bali. Cafe ini sudah berdiri 20 tahun yang dengan mengusung konsep “more than a cup of coffee” (lebih dari hanya segelas kopi). Menyajikan produk kopi pilihan asli Bali. “Lebih dari hanya segelas kopi” ini karena cafe ini sekaligus menjadi galeri lukisan-lukisan seniman Bali yang menggambar menggunakan bahan dasar bubuk kopi bahkan patung-patung yang dipajang juga berasal dari batang kopi yang sudah tua.
Pemilik cafe ini adalah Wirawan Tjahjadi, yang merupakan generasi ketiga bisnis yang berdiri sejak tahun 1920 ini. Awalnya bisnis kakek Wirawan ini adalah toko kelontong biasa yang kemudian oleh ayahnya (generasi ke 2) diubah menjadi kedai kopi sederhana dengan nama Bhineka Djaja, sebelum kemudian mempunyai brand sendiri yaitu Kupu-kupu Bola Dunia. Pabrik kopi Kupu-kupu Bola Dunia ini memiliki mesin roasting (giling) kopi yang sanggup menggoreng kopi 1 ton per jam, dan satu mesin roasting lagi dengan kapasitas lebih kecil sebagai cadangan. Selain Kopi Bali House, Pak Wirawan masih mempertahankan toko kecil lamanya di Jl Gajah Mada Denpasar untuk menjual kopi dan sudut kecil untuk menikmati kopi yang dijual.
Kalau kita perhatikan, model bisnis kopi di Indonesia sekarang ini sudah berkembang sangat jauh dari sekedar menjual kopi di cafe. Pelaku-pelaku bisnis kopi sekarang sangat invasif dan bersaing dengan ketat. Pemainnya bukan hanya dari asing seperti Starbuck tapi juga merek Indonesia seperti Kopi Kenangan, Fore Coffee, Calf Coffee, Tomoro Coffee dan sebagainya. Mereka didanai oleh venture capital asing sehingga dengan cepat bisa membuka gerai di mana-mana. Sebenarnya walaupun sebagian nama-nama kedai kopi asli Indonesia ini tidak bisa dibilang asli milik Indonesia, karena suntikan modalnya juga dari asing. Maka ada istilah “business and money has no nation/boundary” (bisnis dan uang tidak punya batasan negara).
Untuk konsumen tentunya senang-senang saja, karena kita diberi banyak pilihan kopi yang semakin bervariasi dengan harga yang semakin terjangkau. Bahkan bisnis kopi ini merambah sampai ke “starlink” bukan internetnya Elon Musk lho, tapi singkatan dari “Starbuck keliling” alias abang-abang yang jual kopi sachet (kopi gunting) yang naik sepeda sambil membawa termos air panas. Sekarang ini, abang-abang ini sudah bukan lagi pengusaha bebas, tapi menjadi pegawai dari industri kopi. Sehingga kita akan melihat starlink-starlink ini sekarang sudah punya merek (brand) yang dimiliki pemodal besar.
Hal yang menarik, Kopi Bali House ini tidak memiliki nilai-nilai yang invasif dan kompetitif seperti pelaku industri kopi di Jakarta ini. Orang tua Wirawan mengajarkan untuk tidak menaikkan harga kopi ketika ada Galungan, Kuningan, atau hari raya lainnya. Nilai ini mengajarkan tidak mengambil keuntungan jangka pendek walaupun ada kesempatan. Orang tuanya juga mengajarkan untuk memberi pinjaman kepada pedagang di pasar untuk bisa menjual kopi kupu-kupu Bola Dunia dan membayar setelah laku. Kopi ini sangat laku sehingga banyak pedagang di pasar yang terbantu dengan sistem peminjaman ini. Bhineka Djaja tidak hanya menjual kopi saja, tapi telah menjadi pengusaha sosial alias social entrepreneur.
Wirawan sendiri sering bergaul dengan seniman-seniman Bali sehingga mendorong seniman-seniman ini melukis menggunakan bahan-bahan dari kopi, mematung dari pohon kopi yang tua. Di Kopi Bali House ini, Wirawan membantu menjual karya seniman-seniman Bali. Beliau juga mengetuk hotel-hotel bintang 5, 4, dan 3 di Bali untuk menggunakan Kopi Bali asli. Sebelumnya, mereka membeli kopi dari luar negeri seperti Lavazza dan lainya.
Dalam bisnis, pemenangnya bukan siapa yang menguasai pasar, kenaikan penjualan, dan kenaikan harga saham, tapi adalah siapa yang bisa bertahan lama. Bisnis bukan seperti bermain sepak bola yang ditentukan dari awal bermain selama 90 menit, pemainnya hanya 11 orang, tidak boleh memegang bola kecuali penjaga gawang, finite game atau permainan terbatas. Bisnis berisi pemain-pemain baru datang dan pergi, membawa strategi baru, modal besar, serta varian baru, tapi ujung-ujungnya adalah siapa yang bisa bertahan lama di bisnis (infinite game, permainan tak terbatas) adalah pemenangnya.
Saya kagum dengan bisnis yang berbasis “social entrepreneur” dan bisa bertahan dari generasi ke generasi.
Sumber foto: Youtube channel Freandy David