Skip to main content

Bagi yang pernah mengikuti tes pegawai di Indonesia, pasti mengalami berlapis-lapisnya proses yang harus diikuti. Dimulai dengan psikotes, tes kesehatan dan kemudian tes wawancara. Sangat berbeda di Amerika Serikat yang cukup wawancara dan sudah langsung tahu apakah diterima kerja atau tidak. Kenapa bisa berbeda ya?

Salah satu teman kerja saya dari Amerika menyebut bahwa untuk urusan ketenagakerjaan, Indonesia itu negara sosialis. Saya dulu bertanya dalam hati, masak sih? Masak Indonesia disamain sama negara sosialis sih? Kemudian saya mengerti dari mana pendapat ini berasal. 

Rekrutmen di Indonesia

UU Ketenagakerjaan di Indonesia mengatur bahwa PHK (pemutusan hubungan kerja) hanya bisa dilakukan karena kematian, pensiun, mengundurkan diri dan karena keputusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Jadi walaupun karyawan ini terbukti melakukan pelanggaran berat (misal mencuri), tetap tidak bisa langsung di PHK oleh Perusahaan. Sebenarnya UU 13 tahun 2013 sudah mengatur bahwa karyawan yang melakukan pelanggaran berat bisa di PHK langsung, tapi kemudian peraturan dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, walaupun karyawan telah melakukan pelanggaran berat (misal mencuri), maka harus tetap dilakukan proses bipartit (pihak perusahaan bertemu dengan karyawan untuk mencapai kesepakatan), mediasi (dibantu mediasi oleh pihak ke 3) dan ke PHI. Konyolnya, proses ini bisa mencapai 2 tahun karena bila karyawan keberatan maka baru bisa inkrah (berkekuatan hukum tetap) bila diputuskan oleh Mahkamah Agung. Dan selama proses ini, perusahaan harus membayar hak-haknya. Bisa dibayangkan pusingnya Perusahaan. 

Belum lagi setelahnya, harus membayar uang pesangon yang jumlahnya lumayan besar (perhitungan uang pesangon di Indonesia adalah salah satu yang tinggi di dunia). Walaupun secara statistik hanya 45% perusahaan di Indonesia yang bisa membayarnya. Sisanya ngemplang atau bernegosiasi dengan jumlah yang lebih sedikit. 

Karena proses yang bertele-tele ini, perusahaan-perusahaan besar lebih senang bernegosiasi dengan karyawan dengan memberikan tambahan gaji karyawan di atas ketentuan pesangon dan sepakat agar karyawan mau “mengundurkan diri.” Ini yang sering disebut dengan “mutual agreement” (kesepakatan bersama). Karyawan mendapat hak pesangon + tambahan, namun perusahaan tidak dipusingkan dengan proses yang panjang yang dapat mempengaruhi “public image” alias citra perusahaan. Kalau tambahan di atas ketentuan pesangon ini besar, maka sering disebut sebagai “golden package” (paket emas). Biasanya dilakukan bila perusahaan perlu melakukan restrukturisasi sehingga perlu mengurangi jumlah karyawan tanpa menimbulkan kegaduhan. Biaya yang dikeluarkan karena memberikan “tambahan” paket akan bisa tergantikan dengan produktivitas perusahaan yang meningkat. 

Karena proses yang sangat bertele-tele ini, perusahaan akhirnya menerapkan proses berlapis dalam menerima pegawai baru:

  • Tes psikologi (memastikan agar karyawan yang masuk memiliki karakter sesuai dengan budaya perusahaan), jadi bisa awet di perusahaan dan kemungkinan punya sifat “mencuri” bisa diminimalkan
  • Tes kesehatan (memastikan agar karyawan yang diterima sehat, sehingga tidak membebani biaya kesehatan perusahaan)
  • Wawancara (selain memastikan tes psikotes sesuai, juga memastikan atasan “wanna be” cocok dengan karyawan baru)

Dengan kata lain, proses di atas memastikan karyawan yang diterima tidak berulah atau sesuai dengan harapan. Perusahaan ingin memastikan tidak “membeli kucing dalam karung”. Sebuah pertimbangan yang logis.

Rekrutmen di AS

Mari kita bandingkan dengan proses di Amerika Serikat (AS) atau negara barat lainnya. Proses ini disebut “easy hire and easy fire” atau “mudah dipekerjakan dan mudah di PHK”. Cukup datang bawa resume (CV), di-interview langsung, dan secara cepat bisa menerima keputusan diterima atau ditolak. Kalau ternyata tidak cocok, bisa di PHK kapan saja dengan pesangon yang sangat minim. Urusan kesehatan menjadi tanggung jawab karyawan sendiri yang bisa memilih asuransi sesuai selera. Tidak ada tes psikologi. Untuk apa, kan bisa di PHK kapan saja. Kalau kita lihat di film-film Hollywood, kita menyaksikan adegan begitu diberitahu mendapat PHK, karyawan langsung membereskan meja kerja dan kemudian diantar security keluar kantor. 

Dalam kasus mencuri aset perusahaan tidak hanya di PHK, tapi juga bisa dibawa ke kantor polisi untuk investigasi lebih lanjut. Di Indonesia kebanyakan hanya jadi “ancaman” untuk karyawan mau keluar baik-baik alias mengundurkan diri. 

Nggak enak dong buat karyawan? Dalam kasus pencurian, ya pasti. Tapi ini memang keadilan yang harus ditegakkan. Siapa yang salah tidak hanya mendapat PHK, tapi juga menerima sanksi pidana.

Kalau PHK karena restrukturisasi bagaimana? Sepertinya tidak ada kepastian dalam bekerja kalau menggunakan konsep “easy hire and easy fire”? Karyawan sebenarnya bisa cari kerja di tempat lain dengan mudah. Hal yang mungkin terjadi, karyawan yang tadinya malas, makanya di PHK, jadi bisa belajar dan bisa membuktikan kinerja lebih baik di tempat yang baru. 

Kalau untuk perusahaan, tentunya “easy hire and easy fire” ini akan menghasilkan tenaga kerja yang selalu produktif. Kita bisa lihat sendiri etos kerja dan karakter pegawai negeri di negeri kita. Pegawai negeri ini masuk kategori yang “tidak bisa dipecat” (kalaupun bisa, tapi prosesnya lebih panjang lagi). Mengundurkan diri saja ribet banget prosesnya. 

Terjadi korelasi (hubungan) positif antara produktivitas tenaga kerja dengan proses pemecatan. Semakin sulit dipecat, pegawai akan semakin merasa nyaman dan cenderung bermalas-malasan. Semakin mudah dipecat, pegawai akan semakin produktif. 

Jadi saya bisa mengerti kenapa Indonesia disebut sosialis dalam hal ketenagakerjaan, setelah memakai “kacamata” teman saya yang berasal dari AS. (Kacamata= sudut pandang = perspective). 

Bagaimana menurut Anda?

 

Eko Nugroho
Leadership Coach dan Vice Chairman The Avalon Consulting
10 Juni 2024