Skip to main content

Kita sering mendengar istilah: “right man/women in the right place” yang artinya seorang pemimpin harus memastikan memilih orang yang akan membantunya dan menempatkan orang tersebut di tempat (bagian) yang tepat. Dalam memilih orang yang tepat ini tentunya tidak hanya mengandalkan kemampuan teknis belaka. Seseorang yang mempunyai kualifikasi (lulusan) jurusan akuntansi/keuangan belum tentu tepat menempati jabatan itu bila integritasnya pernah tercoreng (pernah terlibat kasus korupsi misalnya). 

Sebaliknya, seorang pemimpin bisa memilih orang yang kualifikasinya kurang tapi memiliki integritas dan kesungguhan untuk belajar. Atau seseorang yang memiliki “growth mindset”. Orang yang tidak takut akan tantangan, menghargai masukan yang konstruktif, melihat saingan sebagai “worthy rival”, dan sebagainya. Dan tentunya ketersediaan seseorang dengan karakter seperti itu lebih sedikit daripada yang mempunyai kualitas teknis seperti jabatan dan pengalaman. Untuk itu diperlukan kecerdasan tersendiri untuk bisa memilih orang yang tepat untuk ditempatkan di bidang yang tepat.

Kecerdasan ini bukan kecerdasan IQ (intelektualitas), tapi pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Pemimpin yang tidak takut akan digantikan bila ada yang sudah mampu menggantikan. Pemimpin yang telah berhasil melampaui watak angkara, luka batin/jiwa, ilusi, kuasa kegelapan dan jejak dosa dirinya sendiri. Dan tentunya tidak hanya di pikiran sadar, tapi juga bawah sadar dan tak sadar. Kenapa pikiran ini penting? Karena pemimpin adalah teladan, bila pikiran sadarnya benar tapi secara bawah sadar melakukan hal-hal yang tercela, tentu hal-hal tercela ini akan diikuti oleh pengikutnya.

Bayangkan pemimpin yang punya kemelekatan kuat terhadap kekayaan. Pemimpin ini akan memilih orang-orang yang akan membantunya memperkaya diri terlepas apa pun caranya. Atau pemimpin yang masih melekat pada keluarganya, mungkin tidak akan punya malu menempatkan sanak saudara di posisi penting organisasi dengan alasan tidak berani menolak permintaan keluarga atau memastikan posisi pemimpin ini akan tetap aman ke depannya. Semua ini akan mengakibatkan kegagalan di masa depan. Kita bisa mengenal cara-cara tak terpuji ini ini di UMKM, Korporasi bahkan dalam skala negara.

Kita bisa belajar dari bagaimana calon presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memilih calon wakil presidennya dari partainya. Kita tahu, Donald Trump dari Partai Republik, hari sabtu kemarin, lolos dari upaya pembunuhan saat melakukan kampanye. Peluru dari seorang penembak jitu (sniper) hanya mengenai kuping bagian atas Trump. Sebuah keajaiban karena peluru bisa lolos saat Trump tiba-tiba menoleh kekanan. Seandainya, Trump terlambat menoleh, peluru pasti akan mengenai kepala Trump. Dan efeknya akan fatal.

Hari ini Trump mengumumkan telah memilih wakil presidennya dari partai Republik yaitu JD Vance. Senator berasal dari Ohio yang masih muda (Agustus ini baru berusia 40 tahun). Vance sebelumnya pernah membenci Trump seperti halnya kebanyakan orang karena gorengan berita media besar. Setelahnya sadar bahwa pandangannya ternyata banyak yang sejalan dengan Trump, kemudian beralih menjadi pembela Trump yang setia. Pandangannya tentang perang Ukraina dan Rusia sangat berbeda dengan pemerintah AS saat ini, bahkan ada yang bilang pandangan Vance lebih keras dari pandangan Trump (yang tentunya tidak disukai pebisnis industri alat perang karena diuntungkan dengan adanya perang).

Vance juga menulis cerita hidupnya dalam bukunya yang berjudul Hillbilly Elegy: A Memoir of a Family and Culture in Crisis pada tahun 2016. Buku ini akhirnya dijadikan film dengan judul yang sama yang diproduksi oleh Netflix pada tahun 2020. Buku dan film ini cerita bagaimana Vance dibesarkan oleh neneknya karena ibunya terjerat narkoba dari keluarga miskin di Ohio. Vance kemudian menjadi marinir dan kemudian kuliah di Ohio State University sebelum mendapat beasiswa untuk kuliah di Yale University.

Menurut Anda, apakah pilihan Donald Trump untuk menjadikan J.D. Vance sebagai calon wakilnya di gedung putih tepat?

 

Sumber foto: LinkedIn