Dalam organisasi atau korporasi, founder (pendiri) menentukan ke mana organisasi/korporasi akan menuju. Tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan atau asal berkegiatan saja, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar. Contoh di Pusaka Indonesia (PI), seperti tertuang dalam visinya yaitu ingin menciptakan Indonesia Surgawi (gemah ripah loh jinawi dan tata tentrem kerta raharja) dan menjadikan organisasi yang totalitas menghayati dan mempraktekkan Pancasila.
Untuk itu segala kegiatan Pusaka Indonesia ditujukan untuk mewujudkan visi agung di atas. Pada setiap kegiatan, para kader diberikan kesempatan untuk belajar menghayati dan mempraktekkan nilai-nilai Pancasila. Tidak hanya di tataran “konsep” dan “mulut” saja, tapi dipraktekkan dalam kegiatannya. Prinsip gotong-royong diterapkan secara nyata dengan kegiatan berbasis donasi (saweran). Yang mampu menyumbang dana lebih besar, yang kurang mampu menyumbangkan waktu dan tenaganya agar kegiatan terlaksana dengan baik. Dalam berinteraksi satu sama lain, masing-masing kader dilatih untuk tulus dalam bekerja dan tidak mudah “baper”, tersinggung atau kesel. Kalaupun terjadi, diberi kesempatan untuk segera bisa memperbaiki untuk kembali di ”track” (jalur) yang benar dengan laku hening cipta.
Indonesia Surgawi tercapai bila semakin banyak manusia yang benar-benar menghayati dan mempraktekkan Pancasila. Dimulai dengan hal-hal kecil sambil menunggu momentum yang tepat untuk bisa bekerja dalam skala yang lebih besar. Segala sesuatu selalu selalu dimulai dari hal yang kecil sebelum kemudian berkembang semakin besar.
Tugas pemimpin PI baik pusat maupun wilayah/daerah adalah memastikan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan sesuai dengan visi agung ini. Ibarat main musik, masing-masing harus bergerak dengan ritme dan harmoni yang sama untuk menciptakan lagu yang indah. Tidak bisa masing-masing “bermain” sendiri dan tidak sesuai dengan arahan dirigen (pemimpinnya). Bukan tidak boleh berimprovisasi, tapi semua dilakukan dalam koridor dan sepengetahuan pemimpinnya. Seperti musik jazz, bisa saja setiap pemain alat tampil solo, tapi tetap dalam koridor lagu yang dimainkan dan kemudian secara harmoni kembali dalam alunan alat musik bersama yang indah.
Ibarat di kapal, pemimpin wilayah akan bergerak di cakupan dalam kapal. Wilayah kerjanya dalam koridor yang telah ditetapkan. Pimpinan pusat bertanggung jawab untuk melihat jangkauan yang lebih luas. Melihat apakah ada gunung es depan yang harus segera dihindari. Atau, walaupun ada badai di depan kapal, tetap terus maju karena kapal memang sudah siap melawan badai tersebut. Contoh konkretnya, bila ada kerjasama dengan pihak ketiga yang tidak lagi sesuai dengan visi PI, maka pemimpin pusat dapat memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerjanya. Walaupun kesannya menguntungkan atau baik-baik saja, tapi kalau memang tidak ‘selaras” ketegasan pemimpin diperlukan agar kapal terus bergerak menuju visi agungnya.
Hal yang sama berlaku di korporasi. Seorang CEO harus tegas menolak kontrak bisnis yang tidak sesuai dengan visi korporasi. Kontrak bisnis yang mengharuskan memberi sekian persen ke pejabat dan berakibat mengorbankan kualitas proyek yang dibuat harus ditolak walaupun “menguntungkan” secara finansial.
Praktek-praktek seperti ini tidak hanya terjadi di negara Konoha saja, di negara Barat juga sami mawon, walaupun dengan cara yang lebih halus. Industri militer AS dimiliki oleh orang “itu-itu” saja. Kelompok ini yang akan memberikan pengaruh kepada politik AS agar perang di dunia selalu ada. Ada perang berarti industri militer akan mendapat kontrak baru. Kelompok ini juga yang memberikan pinjaman kepada negara yang berperang. Jadi mendapat keuntungan dari dua pihak.
Jelas praktek korporasi seperti ini jauh dari praktek yang baik. Tapi kalau kita lihat visi korporasi ini pasti akan indah dan berbunga-bunga, walaupun prakteknya berbeda. Visi hanya sebatas dibuat dan dipajang tapi tidak dihayati apalagi dipraktekkan.
Kembali lagi, diperlukan pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri agar dapat menjadi nahkoda kapal yang handal dan membawa kapal sesuai visinya. Kalau tidak, akan terperangkap pada “keuntungan jangka pendek” dan melupakan visi agung korporasinya.