Akhir-akhir ini saya rajin memantau perang Rusia dan Ukraina. Terutama sejak Ukraina menyerang wilayah Kursk, wilayah perbatasan timur Rusia. Seperti kita tahu, selama ini, Ukraina berperang melawan Rusia di medan “tanah Ukraina” yang “dianeksasi” oleh Rusia. Kenapa saya tambahkan tanda petik? Karena ini adalah versi berita Barat. Versi Rusia adalah mengambil kembali wilayah Rusia yang pernah diberikan ke Ukraina dan sudah ada referendum yang menyatakan rakyat di tanah tersebut memilih bergabung ke Rusia. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya ceritakan alasan utama Rusia menyerang Ukraina dan bagaimana perdamaian yang sudah dirintis gagal gara-gara bujuk rayu NATO dan AS.
Zelensky, Presiden Ukraina, dengan bantuan NATO menyerang Kursk pada 6 Agustus 2024, untuk menunjukkan bahwa Ukraina masih punya “gigi” untuk melawan Rusia. Akibatnya, sekarang ini pasukan Ukraina dipukul mundur dari wilayah Rusia. Tidak hanya itu, Rusia malah masuk terus ke wilayah Ukraina. Keadaan ini dipakai Zelensky untuk meminta lebih banyak persenjataan agar bisa bertahan dari serangan Rusia.
Dari awal, sudah diperkirakan bahwa Ukraina tidak mungkin menang melawan Rusia. Kekuatan militer Rusia tadinya diperkirakan kalah dengan total persenjataan negara-negara NATO. Ternyata setelah dua tahun perang, walaupun Ukraina dibantu AS dan NATO, Rusia masih tetap kuat dan memiliki persenjataan yang bertambah. Yang kedua, warga negara Ukraina sekitar 40 juta jiwa, sementara Rusia memiliki 140 juta jiwa (1:3). Artinya, dari jumlah pasukan yang bisa dikerahkan Ukraina hanya 1/3 dari Rusia. Sehingga yang terjadi adalah pemaksaan wajib militer bagi anak muda di Ukraina. Ketiga, NATO dan AS melarang Ukraina menggunakan senjatanya menyerang tanah Rusia, hanya boleh menyerang tanah “Ukraina” yang dikuasai oleh Rusia. Rudal jarak jauh tidak bisa digunakan menyerang St. Petersburg atau Moscow misalnya. Ini semakin menyempitkan opsi Ukraina.
Yang keempat, Rusia memiliki senjata nuklir terbesar di dunia dan Ukraina tidak. Jelas Ukraina tidak mungkin menang. Saat ini, Rusia sedang dalam proses melakukan perubahan atas doktrin nuklirnya yang akan melonggarkan penggunaan senjata nuklir, bila diperlukan. Kelima, Rusia dibantu oleh China, faktor yang tidak diduga sebelumnya. Kunjungan Jake Sullivan (penasihat militer nasional AS) datang ke China (29 Agustus 2024) untuk mengancam China agar tidak membantu Rusia, ditolak mentah-mentah oleh China. Pemerintahan AS saat ini – (Biden dan Kamala), sedang perlu berita bagus dari perang Ukraina-Rusia untuk memenangkan Pemilu AS November nanti. Buat China urusan Rusia dengan Ukraina itu sama dengan urusannya dengan Taiwan/Filipina yang selalu diganggu AS. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk membantu AS yang sudah menyulitkan China dengan sanksi-sanksi ekonominya.
Saya melihat Zelensky adalah pemimpin yang egoistik dan tidak berpihak pada rakyatnya. Beberapa hal yang saya amati:
Pada saat tahu bahwa Ukraina tidak bisa menang melawan Rusia, Zelensky seharusnya mementingkan rakyatnya dibanding ambisi pribadinya untuk tidak memulai perang yang tidak mungkin dimenangkan. Atau menghentikan perang dan memulai perdamaian saat mulai sadar, dari pada menambah beban rakyat dan mengorban rakyat Ukraina yang produktif (muda) harus mati di medan perang. Namun Zelensky lebih memilih menjadi selebritas di setiap pertemuan G8, G20, atau forum-forum internasional lainnya.
Zelensky menunda Pemilu Ukraina yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret/April 2024 dengan alasan darurat perang. Padahal ini saat yang tepat untuk melihat legitimasinya apakah masih didukung oleh rakyat atau tidak. Kita tahu bagaimana militer Ukraina menangkap dengan paksa anak-anak muda untuk ikut perang, jelas adalah contoh kediktatoran. Anak muda tidak mau perang karena sebagian tahu, Ukraina tidak mungkin menang perang. Untuk itu, seharusnya, Zelensky perlu legitimasi dari rakyatnya untuk melanjutkan pemerintahannya dan perangnya atau tidak. Setelah serangan ke “Kursk” dipukul mundur oleh Rusia, beberapa menteri senior di kabinet Zelensky mundur. Jelas ini bukan pertanda yang baik. Legitimasi dari pendukung dekatnya semakin berkurang
Setiap $ bantuan militer untuk Ukraina adalah hutang rakyat Ukraina. Artinya setiap peluru yang dilepaskan di medan perang, maka anak cucu rakyat Ukraina akan ikut membayar hutang ini. Sampai April 2024, hutang Ukraina adalah US$ 152 milyar dollar (Reuters). 70%nya adalah hutang luar negeri. Sebelum perang (2021), rasio hutang ukraina vs GDP adalah 48%. Diakhir 2024 diperkirakan naik menjadi 94%. Sebagai perbandingan, rasio hutang dan GDP Indonesia adalah sekitar 39%. Artinya, perang telah menjadikan hutang rakyat Ukraina naik 2 kali lipat.
Saat ini perang belum selesai, artinya hutang akan bertambah terus. Dan ini bukan hutang yang produktif yang akan menghasilkan barang dan jasa, tapi hutang hanya untuk membela harga diri pribadi egoistik. Tahukah Anda, siapa yang melakukan restrukturisasi hutang lama Ukraina? Rothschild (Reuters) dan Blackrock (Le Monde, France), lembaga yang tidak asing, dikenal sebagai pemasok dana utama industri militer AS. Mereka untung dari menjual senjata dan untung juga dari meminjamkan hutang ke rakyat Ukraina. Siapa yang buntung? Rakyat Ukraina.
Ini adalah contoh bagaimana seorang pemimpin yang egoistik menjadi pemimpin tiran di sebuah negara. Alih-alih membawa negaranya menuju kemakmuran, malah membawa negara dan rakyatnya diambang kehancuran. Inilah pentingya kita menjadi pemimpin yang non-egoisitik. Pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
Eko Nugroho
Leadership Coach dan Vice Chairman The Avalon Consulting
16 September 2024
Sumber foto: news.virginia.edu