Menjadi pemimpin ala Avalon dimulai dengan menjadi manusia yang telah selesai dengan dirinya sendiri atau non-egoistik. Salah satu syaratnya adalah sudah bisa melampaui kemelekatan. Contoh kemelekatan itu bermacam-macam, bisa kemelekatan terhadap harta, kemelekatan terhadap jabatan/pangkat, atau bahkan kemelekatan terhadap keluarga. Kenapa kemelekatan ini jadi penting? Karena ini salah satu hal yang menghambat pemimpin menjadi adil dan bijaksana yang akhirnya membawa organisasi ke jurang perpecahan dan kehancuran.
Yuk kita lihat beberapa contoh kemelekatan. Kemelekatan terhadap jabatan bisa berarti merasa jabatan yang diduduki saat ini enak dan tidak mau orang lain mendudukinya. Oleh karenanya, pemimpin seperti ini akan sibuk memastikan tidak ada anak buah lain yang bisa menggantikannya. Implementasinya, dia biarkan anak buahnya tetap bodoh sehingga tidak mungkin bisa menggantikannya. Tidak ada pelatihan pengembangan, tidak ada job rotation (memindahkan ke pekerjaan lain agar mendapat kesempatan belajar hal baru), tidak ada job enrichment (tetap berada di jabatan yang sama tapi scope (rentang) kerja diperluas, dll). Harapannya, dengan melakukan hal itu semua, tidak ada anak buah yang akan sepintar dia sehingga posisinya aman terus.
Seorang pemimpin yang melekat dengan jabatan bisa juga sangat “posesif” terhadap anak buah yang pintar. Sehingga ada istilah “victim of your success” atau seseorang yang jadi korban atas kesuksesannya. Pimpinan yang sangat melekat pada jabatan bila mempunyai anak buah yang mempunyai kinerja bagus akan cenderung untuk “ngekepi” (anak buah tidak boleh ke mana-mana). Karena takut kinerja si pimpinan turun, si anak buah yang pinter ini tidak diperbolehkan yang seperti diceritakan diatas: tidak boleh mengikuti pelatihan pengembangan, nggak dikasih kesempatan “job rotation” (nanti kalau dirotasi ketahuan kinerja pimpinan jelek), atau tidak ada “job enrichment” (dalam pikiran pimpinan ini: udah kerjain saja apa yang memang anak buah jago, nanti kalau dikasih tambahan pekerjaan malah membuat kinerja pimpinan turun).
Jadi, alih-alih kita memberi kesempatan kepada anak buah yang pinter, pimpinan yang melekat terhadap jabatan akan menghalangi anak buah untuk berkembang.
Kemelekatan terhadap jabatan juga bisa berakibat seseorang mendekati atasan dengan tidak wajar untuk memastikan posisinya tidak diganti. Kalau perlu mendekat ke salah satu partai politik tertentu agar posisinya aman. Dan tentunya semua itu tidak gratis. Dan tidak jarang untuk membiayainya harus dengan korupsi. Jadi kemelekatan ini bisa menjadi noktah hitam dalam hidup yang beranak pinak menjadi tindakan-tindakan yang tidak selaras.
Yang kedua adalah kemelekatan terhadap keluarga. Kemelekatan ini contohnya relatif banyak. Ingat dulu Ibu Tien Soeharto istri Presiden Suharto yang sampai dijuluki “Mrs. Ten percent” (Ibu sepuluh persen)? Sebagai plesetan dari Tin ke Ten. Julukan ini muncul pasti didasari pengalaman otentik orang-orang yang bersentuhan langsung dengan proyek negara. Sebagai Presiden, Pak Harto seharusnya tidak membiarkan istri ikut campur dalam urusan proyek negara. Tapi Pak Harto tidak kuasa melampauinya.
Contoh-contoh nyata sebenarnya juga ada disekitar kita. Seorang istri yang selalu mengeluhkan kebutuhan sehari-hari yang kurang, apalagi ada keinginan agar anak mendapat pendidikan yang lebih baik, bisa mendorong suami untuk jadi berambisi untuk mencapai jabatan lebih tinggi dan kemudian bisa mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Mungkin Anda berdalih, “Ah, saya nggak mungkin akan masuk ke hal-hal seperti itu.” Tapi tahu nggak, mereka-mereka yang terjerumus ke kemelekatan itu juga ngomong seperti itu dulunya. Kalau didesak kok bisa berubah sekarang? Jawabnya: kepepet 😂😂😂
Eko Nugroho
Leadership Coach dan Vice Chairman The Avalon Consulting
29 Juni 2024