Skip to main content

Untuk menjelaskan apa itu ServL, menurut saya, paling mudah menjelaskannya dengan cara Ken Blanchard. ServL yang kita kenal secara umum, adalah pemimpin yang bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kinerja pekerja di lapangan, yang berhubungan dengan pelanggan dalam performa terbaik. Di sisi lain pekerja lapangan harus reponsif terhadap perintah atasan. Sehingga piramidanya adalah ke bawah “responsible” (bertanggung jawab) dan ke atas “responsive” (harus mengikuti perintah atasan).

Menurut Blanchard, ini jadi masalah besar karena pekerja di lapangan harus fokus pada atasan dan menomorduakan kepuasan pelanggan. Bisa dibilang energi pekerja lapangan habis pada pemuasan keinginan atasan dan bukan untuk pelanggan. Blanchard menggunakan contoh temannya yang ingin membelikan sesuatu untuk istrinya di depstore.

Sesampainya di depstore, temannya perlu menanyakan sesuatu ke istrinya dan kebetulan HP tertinggal di mobil, sehingga menanyakan ke petugas, apakah dia bisa pinjam telephone. Dan dijawab, “Tidak.” Teman Blanchard bertanya lagi, “Kenapa tidak, biasanya kalau di depstore lain bisa?” Dijawab petugas, “Kalau saya saja tidak bisa menggunakan telephone, kenapa Anda bisa?” Petugas di lapangan ini lebih takut kepada atasannya karena kalau meminjamkan telephone bisa kena marah, dibandingkan dengan upaya digunakan untuk memuaskan pelanggannya. Bisa dibayangkan betapa kecewanya pelanggan ini.

Servant Leadership membalik piramida ini dan menempatkan atasan sebagai pihak yang responsive terhadap bawahan dan membiarkan petugas lapangan memiliki kebebasan untuk bertanggung-jawab (responsible). Atasan memastikan memberikan kepercayaan dan kebebasan kepada bawahan untuk berkreasi untuk pemenuhan kepuasan pelanggan.

 

Contoh di Nordstorm

Blanchard memberi contoh peristiwa di Depstore terkenal di Amerika Serikat (AS), namanya Nordstorm. Ketika ada pelanggan ingin membeli parfum di Nordstorm, petugasnya menyampaikan bahwa parfum yang dicari tidak tersedia di counternya. Kemudian petugas bertanya, “Berapa lama Anda akan berada di depstore ini?” Dan dijawab, “Sekitar 30 menit.” Petugas kemudian menawarkan untuk mencarikan parfum tersebut di toko lain dalam keadaan sudah dibungkus rapi untuk kado kurang dari 30 menit. Dan benar, petugas kemudian pergi meninggalkan counternya untuk membeli parfum di toko lain.

Kurang dari 30 menit petugas sudah bisa memberikan parfum yang sudah dibungkus kertas kado rapi ke pelanggan tanpa menambah biaya sedikit pun dari harga beli di toko lain. Nordstorm bisa dibilang tidak mendapat untung apa pun dari transaksi ini, tapi mendapatkan pelanggan baru yang akan menjadi pelanggan yang setia dan loyal. Ujungnya, Nordstorm akan mendapat keuntungan berlipat dari kunjungan rutin pelanggan ini. Apa yang dilakukan di Nordstorm, atasan melayani petugas lapangan untuk dapat memberikan kepuasan yang optimal kepada pelanggan, dengan memberikan kepercayaan, lingkungan kerja yang kondusif, keleluasan untuk belajar dari kesalahan, dll.

Beberapa perusahaan di AS yang mengimani ServL adalah seperti: TDIndustries (TD), Southwest Airlines, Synovus Financial Corporation, The Container Store, Nordstorm, Balfour Beaty, nama-nama yang mungkin kurang familiar buat kita di Indonesia . Yang mungkin kita kenal seperti WD-40, produknya dipakai sebagai pelumas untuk membuka baut atau kunci yang susah dibuka, atau jaringan hotel Merriot Internasional. Sepertinya dari list tersebut belum ada yang masuk Fortune 100. Sebagian sudah masuk Fortune 500, daftar perusahaan di AS yang memiliki penghasilan/aset terbesar. Saya membayangkan kalau masuk Fortune 100 biasanya di belakangnya adalah oligarki global, yang tak mungkin setuju dengan Servant Leadership.

Sebagai antitesa atas kepemimpinan gaya aristokrat dan birokratif, memang ServL berusaha mendobrak status quo yang akhirnya menurut saya cenderung terlalu lemah. Berbeda dengan Sigma Leadership ala Avalon yang menempatkan pemimpin bisa bersikap dengan tepat, kapan “yin”/lembut atau “yang”/tegas, karena keputusan selalu diambil mengikuti perintah Diri Sejati yang berada di relung hati.

Tapi bagi yang belum bisa mendengar Diri Sejati-nya, paling tidak, tulisan ini bisa membantu Anda menggunakan “common sense” atau akal sehat Anda dalam mengambil sikap dalam memimpin organisasi atau perusahaan.