Pemimpin itu ada yang muncul natural. Tanpa jabatan resmi, tapi ia terkondisi untuk jadi sumber inspirasi, pengarah, dan penggerak orang lain. Ia secara nyata mengayomi: membuat orang lain bisa menikmati hidupnya, menjadi berdaya dan penuh karya. Pemimpin seperti ini sering disebut sebagai pemimpin informal, tetua, atau sesepuh.
Ada juga orang yang ditempatkan di posisi pemimpin karena mendapatkan jabatan tertentu; baik di pemerintahan, perusahaan, institusi militer, maupun beragam jenis organisasi lain. Tantangannya adalah tidak semua orang yang punya jabatan, sekaligus punya kemampuan memimpin. Maka, jika Anda kadung punya jabatan segeralah belajar menjadi pemimpin yang baik – agar Anda tidak celaka dan mencelakakan orang lain.
Sesungguhnya memang pemimpin itu dilahirkan, pemimpin hebat memang punya bakat sejak lahir dan akan berkembang seiring transformasi diri yang bersangkutan. Jika Anda tak tahu pasti apakah Anda memang dilahirkan sebagai seorang pemimpin, jangan pernah mengejar jabatan. Jika mengejar jabatan apalagi memaksakannya, Anda hanya akan mencipta duka bagi diri dan orang lain.
Dalam sudut pandang spiritual, pemimpin yang berhasil memang harus dinaungi restu Semesta – sering disebut sebagai wahyu keprabon. Restu Semesta hanya turun pada siapa pun yang berjiwa murni dan punya kapabilitas.
Ada banyak orang punya jabatan, tapi tak sanggup memimpin. Ada juga yang memanfaatkan wewenang terkait jabatannya itu untuk kepentingan diri sendiri dan kroninya. Merekalah para pejabat yang koruptif dan menyusahkan orang banyak.
Jika kita jadi pemimpin tertinggi, orang-orang seperti ini, yang tak sanggup memimpin, atau yang menyalahgunakan jabatan, harus dibina dan kalau tidak bisa, ya, diberhentikan, diganti dengan yang lebih selaras. Pemimpin tertinggi harus punya ketegasan, tidak boleh lemah karena kelemahan akan jadi pangkal kecelakaan bersama.
Suatu saat nanti niscaya bermunculan orang-orang berjiwa murni dan punya kemampuan memimpin. Itulah yang menjadi faktor kemajuan bagi bangsa ini.