Mungkinkah kita bergerak maju dan melakukan yang terbaik tanpa ambisi? Jawabannya sangat mungkin! Pembelajaran kepemimpinan di The Avalon Consulting justru mengajak setiap individu untuk meraih performa terbaik tanpa ambisi yang menyengsarakan. Meski terkesan absurd, tetapi hal ini berulang kali ditekankan kepada para peserta program Avalon. Sikap ambisius, ngotot, memaksakan diri, belum tentu membawa kemajuan. Kalaupun ambisi bisa membawa kemajuan, kita tidak akan bisa merasakan bahagia karena kita menjadi stres. The Avalon Consulting mengajak para pemimpin untuk bisa mengalami progres, bertransformasi, dan mencapai visi yang Agung tanpa menjadi menderita.
Salah satu peserta program Avalon dari Bali, Ariyanti Dragona, punya pengalaman bagaimana dirinya berproses meluruhkan ambisi dan idealisme yang selama ini membelenggu. Pernah berkuliah dan bekerja di perusahaan multinasional di Jepang membuat Ariyanti terbiasa dengan standar bekerja yang tinggi. Selain Jepang, ia juga pernah bekerja di China dan Swiss. Di pekerjaan sebelumnya, Ariyanti bertugas di bidang procurement dan kemudian ditempatkan di bidang supply chain dan project management.
Sejak 2020, Ariyanti bergabung di perusahaan suaminya yang bergerak di bidang persewaan peralatan fotografi dan videografi. Perusahaan yang saat ini telah memiliki cabang di beberapa kota ini menjadi wahana bagi Ariyanti dalam menerapkan pembelajaran kepemimpinan berbasis spiritual di dunia profesional.
Proses transisi ke peran pekerjaan baru di tanah air menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya. Ia mengalami culture shock saat menghadapi para karyawan dengan pola kerja dan cara berpikir yang sangat berbeda dengan lingkungan kerja sebelumnya. “Hal-hal yang terkesan remeh seperti kesalahan ejaan pada dokumen kantor, membuat saya sadar bahwa saya punya idealisme yang membelenggu. Idealisme yang saya ciptakan sendiri ini justru membuat saya stres,” tutur Ariyanti. Ambisi untuk selalu melakukan pekerjaan dengan sempurna membuatnya merasa perlu memperbaiki diri.
Di peran pekerjaan saat ini Ariyanti juga harus beradaptasi dan belajar tentang hal-hal baru yang belum pernah ditekuni sebelumnya. Saat ini ia berupaya bersama perusahaannya untuk beralih dari perusahaan kecil menjadi perusahaan berskala medium, sehingga perlu pembenahan sistem yang lebih kompleks. Menjembatani pengalaman kerjanya di perusahaan yang mapan dengan perusahaan sekarang membuat Ariyanti berusaha untuk menyesuaikan standar idealismenya sembari membenahi sistem yang ada secara perlahan.
Ketika sedang menghadapi situasi yang tidak ideal baginya, Ariyanti berefleksi dengan bertanya ke dalam diri, “Mengapa harusnya begini dan begitu? Apakah standar ini idealisme yang saya ciptakan sendiri atau memang dibutuhkan?”
Dengan tidak mendahulukan ego menuntut orang lain, Ariyanti semakin sadar bahwa untuk mendukung pertumbuhan anggota timnya, seorang pemimpin harus terlebih dahulu berbenah diri.
Mengingat perjalanan hidupnya di masa lalu, Ariyanti bercerita bagaimana ambisi juga menjadikan hidupnya terasa ‘kosong’ dan sepi. Meski banyak pencapaian karier yang diraih di usia muda, Ariyanti justru merasa hidupnya tidak damai. Kesenangan yang ia rasakan setelah berhasil mendapatkan sesuatu, ternyata hanya berlangsung sesaat. Ini membuktikan bahwa ambisi tidak akan membuat bahagia meskipun kita bisa mendapat apa yang kita inginkan.
Belajar kepemimpinan dengan dasar spiritual membuat Ariyanti menemukan bahagia yang muncul dari dalam diri. Ia pun mulai belajar beradaptasi dan menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana atau ekspektasinya. Prinsip mengalir ini membantu Ariyanti dalam menyusun rencana-rencana strategis di perusahaan yang dikelolanya tanpa stres.
Jika Anda juga mendambakan transformasi diri menjadi seorang pemimpin yang bahagia sekaligus cemerlang, bergabunglah dalam program-program yang diselenggarakan oleh The Avalon Consulting. Dapatkan info kelas terdekat disini.
Nenden Fathiastuti
CEO The Avalon Consulting