Pernahkan merasa benci dengan pekerjaan atau kegiatan yang sedang dilakukan? Atau merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak disukai dan tidak mampu mengubah situasi? Baik berupa pekerjaan yang terikat kontrak berbasis hukum, atau kegiatan sederhana, maupun peran dalam kehidupan?
Sebenarnya solusi praktis bagi kegelisahan ini adalah, dengan meninjau kembali tujuan paling mendasar, alasan awal mula ketika mencari sebuah pekerjaan, atau menerima sebuah peran. Menengok kembali ke masa silam dimana seluruh daya upaya dikerahkan demi mendapatkan pekerjaan yang kemudian dibenci ini. Berefleksi kembali atas motivasi mendasar, dan apa saja manfaat yang telah dinikmati selama ini, sebelum di satu titik menemukan kebencian pada pekerjaan.
Tujuan (purpose) sudah pasti merupakan landasan utama bagi motivasi untuk melakukan apa saja semaksimal mungkin, demi mencapai apa yang diinginkan. Secara natural, manusia akan melakukan apa saja yang bisa dikerahkan, untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Ketika tujuan tidak kunjung terpenuhi, maka motivasi pun surut, melempem, merasa terjebak dan salah memilih. Drama misuh, grundel dan mencari objek untuk disalahkan dimulai. Aksi protes dan pemberontakan yang mencemari tujuan dan value, menghiasi performa baik secara individu maupun kelompok. Seringkali, ketika tujuan sudah terpenuhi, maka muncul tujuan baru yang terus bertambah. Tujuan awal terkalibrasi berulang kali menjadi target pencapaian baru, dan menjadi motivasi baru. Tetapi akan kembali terjebak dalam siklus pasang surut motivasi dan performa kinerja yang tidak stabil terus menerus.
Apabila motivasi dalam bekerja terbentuk dari landasan berpikir yang tidak jernih, akan memberikan kualitas performa dan hasil akhir yang berbeda, apabila dibandingkan dengan motivasi bekerja yang tumbuh dari sebuah ‘kesadaran’ . Landasan berpikir yang tidak jernih seperti keterpaksaan, ketakutan, merasa stuck karena tidak ada pilihan, diperintah orang lain yang ditakuti, mental blok, dan sebagainya. Maka dari itu, dalam kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership , solusi berupa ‘membangun karakter’ sebagai mental outlook yang tepat, akan mencapai titik optimalnya apabila disertai praktik mindfulness.
Motivasi berupa ‘I have to’ merupakan penyebab utama dari sindrom ‘I hate my job’. Maka ketidaktepatan motivasi inilah yang perlu dikalibrasi menjadi ‘I want to’, dan kemudian ditingkatkan lagi menjadi ‘I love to’ dan ‘I delight to’. Mengubah keterpaksaan menjadi kecintaan dan passion. Mengubah ‘I hate my job’ menjadi ‘I love my job’ dan I’m passionate about my job’. Memperdalam pemahaman atas sebuah tindakan atau pekerjaan dengan menemukan tujuan jangka panjang yang paling jernih. Mengkalibrasi pola pikir agar terlatih untuk melihat gelas separuh isi, ketimbang terus menerus berfokus kepada gelas separuh kosong.
Proses kerja yang optimal akan terjadi, apabila seluruh perhatian dan energi dicurahkan pada usaha terbaik dalam melakukan pekerjaan, dan sepenuhnya memberi perhatian kepada apa yang bisa dilakukan dengan maksimal. Hasil tidak pernah mengkhianati proses.
Tidak ada sebuah pekerjaan yang sepenuhnya menyenangkan preferensi personal. Pasti ada saja bagian yang tidak dikuasai dengan baik dan tidak disukai. Pasti ada saja situasi terburuk yang menciptakan buah pikiran ‘I hate my job’.
Seperti kata Pak Steve Job “The only way to do great work, is to love what you do”. Lalu bagaimana untuk mentransformasi kebencian menjadi kecintaan pada apa yang kita kerjakan? Kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership menerapkan beberapa langkah sebagai berikut:
- Review kembali tujuanmu.
Kenali apa tujuan dan value tertinggi. Berkomitmen terhadap value tertinggi agar tercipta motivasi yang jernih dan kuat dalam melaksanakan sebuah pekerjaan maupun peran dengan performa terbaik. - Evaluasi kembali situasi saat ini.
Bandingkan dengan situasi ketika pertama kali memutuskan menerima sebuah pekerjaan atau peran. Adakah manfaat yang sudah dinikmati? Adakah pihak lain yang turut menikmati manfaat? Adakah pengetahuan yang bertambah? Adakah pengalaman berharga bagi kehidupan? Adakah hal baik dan konstruktif yang membuat diri berkembang? - Shift your focus.
Pastikan pola pikir atau mindset selalu stabil sesuai koridor value tertinggi, agar tujuan jangka panjang tidak mudah terdistraksi ketika menghadapi godaan dan tantangan. - Jaga profesionalisme dan etika kerja.
Apabila sudah mantap untuk mencari pekerjaan baru, pastikan memenuhi etika exit clearance yang mencerminkan profesionalisme. - High risk high gain.
Sebelum memutuskan, pastikan pertimbangan manfaat sudah satu paket dengan apa saja tanggung jawab dan risiko pekerjaan. Jangan hanya sibuk membayangkan manfaat sebelum memberikan effort terbaik. Fokuslah kepada tanggung jawab dan kesiapan diri menghadapi risiko yang belum tentu terjadi. - Membuka diri.
Berdiskusi dengan pihak yang tepat atas kendala yang dihadapi. Mintalah umpan balik sebagai modal bagi peningkatan motivasi, bukan sebaliknya untuk modal berdrama. - Praktik mindfulness.
Membuka wawasan untuk membongkar mental block, mempertajam kemampuan berpikir kritis dan berpikir strategis . Penuhi energi hidup dengan menciptakan rutinitas bersyukur.
“Leadership is about unbreakable sense of purpose and direction, connects to your values and long term goals” ~ Sigma Leadership
Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
4 Juni 2025