Salah satu tantangan yang saya hadapi selama magang menjadi pemimpin dengan landasan filosofi kepemimpinan dan pengembangan karakter berbasis kesadaran Sigma, adalah tentang menjadi pemimpin yang disukai. Mengacu kepada pengalaman ketika menjadi karyawan, banyak pemimpin tidak disukai karena menegakkan standar dan value, tanpa toleransi. Sebaliknya, banyak pemimpin disukai dan menjadi populer karena dianggap memberikan kenyamanan, walaupun tidak mencerminkan etos kerja dan tidak memiliki integritas terhadap value dan standar.
Ketika menegakkan value, standar, atau prinsip yang mengusik kenyamanan, maka pemimpin dianggap sebagai sumber masalah. Like and dislike tidak hanya dialami oleh karyawan sebagai objek, tapi juga dialami oleh pemimpin. Hal ini selalu dikaitkan dengan minimnya kepercayaan (lack of trust). Elemen dasar Manajemen Matahari yang mengutamakan keteladanan terasa menjadi area abu-abu. Karena walaupun sudah diberikan teladan yang nyata, tidak bisa meningkatkan kepercayaan karena sudah dianggap punya reputasi yang tidak memberikan kenyamanan, sehingga dianggap sebagai sumber masalah.
Fenomena fungsi otak bernama negatif bias, yaitu kecenderungan kerja otak yang lebih mudah memberi perhatian terhadap informasi negatif. Hal ini disebabkan oleh informasi yang dianggap sebagai ancaman, sehingga memantik mode pertahanan. Membuktikan bahwa gerak pikir yang tidak jernih, yang tidak dilandasi oleh kesadaran yang jernih, menyebabkan reputasi buruk seseorang bergerak lebih cepat ketimbang keteladanan yang berintegritas terhadap value luhur. Tidak peduli dengan contoh dan teladan yang positif dan konstruktif dan bisa dilihat melalui hasil kerja yang berkualitas. Satu peristiwa yang dianggap tidak memenuhi standar kenyamanan akan digaungkan sebagai reputasi buruk, yang lebih mudah dipercaya dan diingat, ketimbang mencermati hasil kerja dan keteladanan yang sepadan dengan value yang luhur.
Pada kenyataannya, tidak mungkin semua pihak akan setuju dan menyukai keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin. Peran sebagai pemimpin memang bukan untuk menyenangkan semua pihak. Menjadi pemimpin ternyata bukan tentang menjadi disukai oleh banyak pihak dan menjadi populer. Menjadi pemimpin adalah tentang integritas memperjuangkan value dan standard demi mencapai tujuan yang luhur, walaupun seringkali disalahpahami. Kekuatan kemampuan memimpin justru terbukti pada besarnya integritas dalam menghadapi pilihan dan keputusan yang sulit diterima oleh banyak pihak. Sehingga solusi yang bisa dilakukan adalah, tetap berpegang teguh kepada misi visi dan value, sebagai tujuan yang luhur, disukai atau tidak.
Dalam dunia kepemimpinan dan pengembangan karakter, integritas disebut sebagai the greatest asset. Integritas merupakan kekayaan yang paling berharga bagi individu yang berdampak kepada kualitas karya, baik bagi individu, kelompok, organisasi maupun bisnis. Aset intangible berupa karakter luhur ini, dinyatakan oleh para ahli sebagai bernilai lebih tinggi ketimbang aset finansial. Karena untuk mendapatkan jaringan yang lebih solid dan autentik demi mencapai kesuksesan yang berdampak positif dalam waktu yang panjang, kepercayaan yang fundamental justru dibangun dari hasil sebuah integritas.
Integritas bukan tentang apa yang nyaman tetapi apa yang benar. Integritas adalah karakter luhur yang mengedepankan keautentikan dan tanggung jawab penuh (accountable) untuk memperjuangkan nilai luhur yang menjadi standar dan pedoman. Integritas adalah tentang menjaga komitmen dan konsistensi pada setiap ucapan dan tindakan, serta berani bertanggung jawab dan bisa diandalkan untuk menegakkan nilai (value) dan standar.
Seseorang bisa memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun tidak berintegritas. Seseorang bisa memiliki aset finansial yang besar sehingga menjadi populer dan disukai banyak orang, tetapi tidak memiliki integritas. Tanpa membangun integritas, maka kualitas diri serta kemampuan dalam pemimpin tidak akan berkembang. Relasi yang dibangun atas dasar kekuatan finansial tanpa integritas, hanya akan menjadi relasi yang rapuh dan mudah goyah apabila muncul badai yang mengguncang perekonomian. Tetapi kepercayaan yang dilandasi oleh keteladanan akan integritas, akan membuat sebuah relasi menjadi kokoh berdiri tegak untuk sepakat melaju bersama di atas landasan value yang sepadan.
Filosofi kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership, mengedepankan praktik mindfulness yang dapat membangun ruang kesadaran yang lebih jernih dan meminimalkan negatif bias. Melalui pengelolaan kesadaran dan cara berpikir (mind management), akan membangun individu dengan kualitas karakter terbaik, karakter Sigma. Membangun individu dengan pola berpikir yang jernih agar menjadi pribadi yang memiliki integritas sehingga dan mampu menjalankan peran berlandaskan value atau nilai luhur.
Pola pikir yang belum jernih, selalu menimbulkan banyak prahara yang dimulai dari overthinking, mental block, self-sabotage, stress, burnout dan seterusnya. Degradasi kesehatan mental dan emosi akan berimbas kepada menurunnya kualitas hidup dan kualitas kinerja. Penurunan performa akibat pengelolaan waktu yang buruk dan berakhir dengan degradasi kesehatan fisik di kemudian hari. Umpan balik yang diberikan dengan nada lembut pun bisa menjadi masalah yang dramatis apabila tidak dilandasi oleh pola berpikir yang lebih jernih. Pada kenyataannya, setiap tindakan dan ucapan dengan landasan value yang luhur, akan ditangkap sebagai sesuatu yang kasar, menyakitkan dan menyinggung perasaan, bagi siapapun yang hanya mencari kenyamanan, malas bertumbuh, dan menolak untuk mengembangkan diri.
Integritas adalah konsistensi antara ucapan dan tindakan, yang sepadan dengan prinsip, standar dan value luhur yang telah ditetapkan. Tanggung jawab penuh (akuntabilitas) dibuktikan dengan keberanian menegakkan apa yang benar, bukan dengan memilih sikap diam hanya karena takut berkonflik dan takut tidak disukai oleh banyak pihak. Integritas adalah tentang mental yang tangguh, dewasa dan bijaksana sehingga berani menegakkan dan menjaga kepatuhan terhadap value dan standar (compliance), serta membangun ruang bagi siapapun yang bersedia memantaskan diri (conformity).
“Leadership is about an unbreakable sense of purpose and direction, connected to your values and long term goals.” ~ Sigma Leadership
Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
14 Oktober 2025
Catatan Refleksi
Integrity Intact
Dari kelas Integrity Intact atau integritas yang utuh (tidak terkoyak/rusak), saya nyatet banyaaaak sekali. Tapi, saya ingin mengenyampingkan dulu catatan tentang integrity intact itu.
Pembelajaran buat saya adalah,
Ketika merasa terdiskoneksi pada nilai hidup luhur (yang saat ini sedang dikalibrasi dari nilai egoistik), salah satu penyebabnya adalah ambisi yang besar untuk segera dan cepet-cepet mencapai nilai hidup tersebut. Semakin ambisi, semakin terdiskoneksi.
Semakin ambisi, semakin terjerumus dalam jebakan betmen karena luarnya indah bak fatamorgana di gurun pasir.
Mencapai kehidupan luhur yang berlandaskan nilai-nilai luhur, tidak bisa dicapai melalui ambisi, melainkan hanya bisa dicapai melalui nilai-nilai luhur; sabar, rendah hati, dan teman-temannya. Semuanya butuh bertahap, asal kultur meditasinya terus dijaga dan diperbaiki. Ini catatan untuk diri sendiri.
Sesi USP kali ini juga memunculkan kesadaran bahwa saya masih punya PR tentang integritas, khususnya terkait bagaimana menyikapi stagnasi dalam zona nyaman, tidak mau bergerak. Di satu sisi, dalam konteks organisasi, saya tipe orang yang selalu menginginkan perbaikan. Dulu ketika masih menjadi pejabat struktural, saya menjalankan beberapa inisiatif yang semua bertujuan pada perbaikan/peningkatan kinerja organisasi. Yang jadi problem, ketika saya melihat ke diri saya sendiri, ternyata saya tidak menerapkan prinsip yang sama. Ketika departemen saya meminta para dosen untuk melakukan beberapa perbaikan yang memerlukan proses belajar hal baru (misalnya dalam hal cara merancang proses pembalajaran mahasiswa), ada mental block yang cukup kuat “saya kan sudah tua, ngapain harus belajar hal-hal baru”. Amazingnya, hal ini baru saya sadari setelah menonton ulang rekaman sesi USP ini.
Wah, terima kasih mbak Ay, mbak Nenden, sudah menyadarkan saya. Selanjutnya saya harus melatih diri untuk konsisten menjalankan juga prinsip-prinsip yang saya terapkan ke orang lain, membangun integritas yang lebih baik. Kalau disuruh berubah menuju perbaikan, ya lakukan dengan tulus.
Mendengar wedaran mba Ay, baru menyadari kalo Tingkat kesadaran seseorang akan mempengaruhi dalam pemahaman pembelajaran di SKPM. Seberapa Tingkat kesadarannya, segitu yang dia bisa dapatkan di pembelajaran. Semakin sadar, POV nya semakin luas dan berkembang, hehehe…baru nyadar POV saya masih cetek.
Integritas…
Waah, Dalam tataran praktek memang belum sanggup. Masih suka menggunakan BMN untuk kepentingan pribadi. Difasilitasi motor dinas untuk pulang pergi rumah kantor, tapi kadang dipake untuk kepentingan pribadi juga, meski bensin dan pemeliharaan ditanggung sendiri, tidak menggunakan uang kantor.
Zona Nyaman
Bener sekali, saya sekarang sudah berada di zona nyaman cukup lama. Salah satu cirinya Adalah autodefense. Karena sudah terutinitas pekerjaan yang hanya itu-itu aja, Ketika dikasih tantangan baru, sudah “berkomentar” waaah…seharusnya itu tugasnya seksi anu…saya kan cuma supporting aja…
setelah menyadari, kedepan memang saya tekadkan untuk berupaya menerima tantangan apapun yang ditugaskan oleh Kepala Kantor “meski ada rasa gejolak karena zona nyamannya diusik” tapi saya lakukan juga sebagai Latihan. Bertahap tentunya. Seperti beberapa waktu lalu, Kepala kantor memberi tugas dan harus turun tangan jika terjadi kekosongan petugas di Front Office, padahal petugas tersebut bagian dari seksi manajemen Satuan Kerja (Satker).
Empowering,
Saya sendiri sedang tidak empowering…
saat ini saya sedang berupaya untuk meng-empower seorang tenaga satuan pengamanan untuk bisa bekerja selain sebagai tugas pengaman. Saya beri tugas bersih-bersih, menjadi tukang bikin taman, dan saat ini sedang saya latih untuk bisa jadi supir. Sejak pertama kali saya masuk kerja, berusaha untuk melihat potensi yang ada pada setiap tenaga honorer. Semua saya kasih peluang yang sama, disitu terlihat mana yang mau kerja mana yang sekedar kerja. Dari seleksi itu, sudah bisa saya prediksi untuk saya kembangkan.
People Pleaser.
Saya termasuk orang yang tidak suka konflik. Terutama dengan pasangan, daripada ribut…ikuti saja maunya bagaimana. Demikian di kantor, dengan rekan kerja, lebih baik saya bekerja untuk bisa mensuport apa yang saya bisa. Males berdebat, mending diem dan kerjakan.
Kedepan liat situasinya, kalo yang dikedepankan emosional, mending diem tapi kalo dibuka ruang diskusi, ya ga masalah didiskusikan.
🌸Ketika liat mba Ay yang bawain materi hari ini, wah menunggu slide powerpoint mba Ay yang selalu eye catching dan menarik, tapi ternyata malam ini mba Ay cerita ga sempet mempersiapkan presentasi, tapi dengan pengalaman otentik yg dialami mba Ay walaupun tanpa bantuan PPT tetap menarik seperti mendengarkan kisah sukses seorang Ay Pieta. Saat sesi live itu masih ada hal-hal yang belum saya ngeh arahnya kemana, coba untuk dengerin rekaman lagi dan ini yang menjadi refleksi saya.
🌸 Integritas baru ngeh kalo integritas itu bukan cuma sekedar kesesuaian antara yang dibicarakan dengan yg dilakukan, tapi ternyata lebih dari itu integritas itu tentang mental yang tangguh, dewasa dan bijaksana. Tentang Integritas ini sulit saya temui selain di lembaga mas guru, pernah bekerja di 3 Rumah Sakit berbeda mulai dari yg usianya sudah puluhan tahun lalu pindah ke Rumah Sakit khusus , sampai di tempat yang sekarang Rumah Sakit dimana saya ikut serta dari sejak dimulainya pembangunan. Mulai dari saya menjadi cungpret, sampai saat ini dipercayakan menjadi leader dalam satu unit. Banyak yang saya saksikan tentang Integritas ini, pemimpin yang selama ini saya temui seringkali burnout sehingga ketika mulai kelelahan tidak bisa mengambil sikap yang tepat, lebih banyak mengamankan posisi, mengorbankan anak buah. Ketika ada masalah yang terucap adalah “siapa yang salah” bukan mencari akar masalah, hal ini menyebabkan banyak anak buah yang akhirnya tidak melaporkan ketika ada kejadian karena takut nama baiknya tercoreng, dan itu menjadi Bom Waktu yang siap meledak kapan saja. Banyak pejabat level manajer yang memakai topeng-topeng penuh pencitraan di depan jajaran direksi demi kelanggengan jabatan dan karir, dengan terselubung manajer saya pun menyuruh kami sebagai kepala unit untuk melakukan hal tersebut, bagai buah simalakama diikutin ga sesuai hati nurani, ga diikutin masih butuh kerjaan.










