Di sesi 2 ALOC 5, saya kembali diingatkan bahwa kepemimpinan (leadership) tidak hanya bagi mereka yang mempunyai anak buah/staf. Kepemimpinan dapat dibedakan menjadi 2; yaitu kepemimpinan diri dan kepemimpinan orang lain. Kepemimpinan diri, adalah pemimpin yang telah “tuntas dengan dirinya sendiri”, bisa memimpin diri sendiri sehingga bisa menjadi versi terbaik dirinya. Kepemimpinan orang lain, adalah pemimpin yang memberdayakan kemampuan dan potensi anggota, anak buah, staf sehingga bisa mencapai versi terbaik mereka. Namun, untuk mampu memimpin orang lain syarat utamanya adalah sudah bisa memimpin diri sendiri. Ini yang jarang ditemui pada para pemimpin di negeri ini di berbagai level; institusi perkantoran, perusahaan, hingga lembaga negara.
Seorang pemimpin tidak cukup hanya menjadi orang baik. Contoh kasus yang otentik tentang pernyataan tersebut juga telah disampaikan secara gamblang. Bagaimana orang baik yang ada di posisi strategis pada akhirnya tidak bisa mengambil keputusan yang tepat (keputusan yang tidak sesuai petunjuk Gusti). Orang yang awalnya baik, ketika masuk ke sistem yang rusak parah dan belum selesai dengan dirinya sendiri, maka tinggal menunggu waktu Ia akan tergulung dengan sistem-kelam yang sudah menggurita. Sehingga segala keputusan yang diambil oleh pemimpin tersebut banyak dipengaruhi oleh kepentingan egoistik, yang tidak ragu-ragu merugikan masyarakat. Hal ini tentunya berpotensi besar untuk mewariskan permasalahan dan benih medan energi yang tidak selaras sehingga bisa mencelakakan diri sendiri, masyarakat, hingga bangsa dan negara.
Kondisi ini sangat relevan dengan kegemesan saya saat masih awal masuk kuliah. Kok bisa orang baik yang masuk sistem jadi berubah haluan, terkontaminasi sistem yang destruktif dan sudah berakar-dalam di berbagai sektor. Saya sempat punya pemikiran sebaiknya para pejabat dan pemimpin di negeri ini yang katanya wakil rakyat perlu diseleksi di awal, diberikan tantangan berat (uji nyali) untuk mengetes kesungguhan niat dan ketulusan mereka. Apakah mereka akan memanfaatkan atau menggunakan kewenangan, kekuasaan, untuk kepentingan sendiri atau memang untuk kepentingan rakyat? Berani tidak saat nanti mereka menjabat tapi digaji dengan nominal yang minimal? Kalau perlu tanpa ada kenaikan gaji, tanpa dukungan fasilitas mobil mewah, rumah mewah, bepergian ke luar negeri yang lebih banyak jalan-jalan tapi hasilnya tidak kelihatan, atau terasa dampaknya bagi masyarakat atau bangsa. Rasanya miris saat melihat kelakuan mereka yang sudah dibayar dengan uang rakyat tapi saat sidang anggota dewan banyak yang bolos, yang hadir pun malah tertidur, atau titip presensi kehadiran, dsb. Ahh.. jadi teringat kembali lagunya Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat” yang sungguh mewakili suara dan jeritan rakyat bangsa ini.
Dari pembelajaran sesi 2 ALOC 5, saya menjadi lebih paham bahwa seorang pemimpin memang harus dibekali dengan kesadaran spiritual yang mumpuni, sehingga bisa memimpin diri sendiri dan orang lain, mencapai tujuan dan kesejahteraan bersama, mengalami hidup yang surgawi, mewujudkan bumi surgawi.
Krisis Kepemimpinan dan Cara Mengatasinya
Untuk mengatasi krisis kepemimpinan di negeri ini yang telah merambah di berbagai sektor, rasanya tidak mungkin hanya menggunakan pendekatan fisik atau kognitif semata. Pelatihan kepemimpinan secara formal melalui workshop atau seminar memang sudah banyak digelar dan dikenalkan. Bahkan pelatihan, sekolah, hingga akademi ala militer yang ditujukan untuk membangun karakter pemimpin juga telah banyak dibuka. Namun, dapat dilihat hasilnya belum ideal untuk bisa menciptakan pemimpin yang Agung. Banyak pejabat dan pemimpin yang pernah menerima pendidikan kepemimpinan dari angkatan/militer justru berubah sikap, kebijakan dan orientasinya tepat pada saat menjabat dan mempunyai kekuasaan. Sehingga pendekatan non-fisik atau spiritual layak dicoba untuk dikenalkan dan ditanamkan agar menyentuh esensi terdalam, sikap, mental dan integritas diri seseorang. Secara masif, laku hening cipta bisa dikenalkan sejak usia dini hingga dewasa melalui pendidikan formal, informal dan non-formal. Sosialisasi yang berkelanjutan melalui berbagai media sosial, workshop, dan seminar juga perlu digencarkan. Dengan cara ini, meski perlahan, akan bisa mencetak pribadi-pribadi yang selesai dengan dirinya sendiri, pemimpin yang berintegritas dan patriotik untuk kemajuan bangsa dan negara.
Sebagai individu dan pembelajar yang telah mengikuti ajaran spiritual murni ala SHD baik di Persaudaraan Matahari maupun terapannya di program Avalon Leadership, saya berkomitmen dan siap untuk terus semangat mempraktikkan laku hening di keseharian sebagai dasar untuk memperbaiki diri, berproses dan bertumbuh menjadi versi terbaik. Sungguh-sungguh membulatkan tekad dan niat tulus untuk memurnikan jiwa raga, yang pada akhirnya berujung pada terciptanya medan energi yang selaras. Sehingga, apa pun level kepemimpinan yang sedang diperankan saat ini dan ke depan, akan membawa dampak yang selaras bagi diri sendiri maupun tim dan institusi tempat menjalankan tugas. Dengan demikian secara tidak langsung sudah turut berkontribusi mengatasi krisis kepemimpinan, sekaligus meningkatkan kesadaran kolektif bangsa yang bisa mengubah dan mewujudkan negeri surgawi, bumi surgawi.
Nyoman Suwartha
Dosen, Sekretaris Jenderal Pusaka Indonesia, dan Peserta Program Avalon