Kepemimpinan yang adil dan progresif pernah dipraktikkan di Nusantara hingga membawa bangsa ini pada visi yang agung. Kepemimpinan ini dipraktikkan di masa kekuasaan Ratu Tribuana Tunggadewi di masa Kerajaan Majapahit, Sri Kertanegara dan Ken Arok di Kerajaan Singosari, dan Prabu Airlangga saat bertakhta Kerajaan Kahuripan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki kharisma, kebijaksanaan, kasih murni dan juga mencapai pencerahan secara spiritual. Pemimpin tidak hanya orang yang pandai bercerita, tapi juga mampu menunjukkan jalan terang dengan keteladanan.
Untuk bisa mencapai level kepemimpinan layaknya pemimpin Nusantara, maka kita harus bisa memimpin diri sendiri sebelum kita bisa memimpin orang lain. Kita harus menjadi pengikut yang patuh atas suara hati yang paling dalam. Agar tidak ada bias dari kebenaran yang muncul dalam hati, seorang pemimpin harus memurnikan jiwa raganya. Itulah sebetulnya ajaran Pancasila yang selama ini jarang dikenali karena selama ini kita hanya membicarakan Pancasila, tanpa mengerti maksudnya. Pancasila hanya menjadi hiasan dan tidak menjadi sebuah praktik nyata dalam keseharian.
The Avalon Consulting mengajak orang kembali menghayati kepemimpinan Pancasila. Kepemimpinan ini mengintegrasikan berbagai pokok ajaran spiritual di Nusantara dan banyak belahan dunia, yang sekarang kita sebut sebagai Sigma Leadership. Ilmu kepemimpinan ini merupakan hasil integrasi atau kesatuan dari berbagai hal yang indah dan agung menjadi sebuah himpunan pengetahuan yang membawa kepada kesempurnaan.
Tanpa kita selesai dengan diri sendiri, siapa pun yang mempunyai niat baik untuk mengubah dunia pasti akan sampai kepada titik frustasi, karena ternyata dunia tidak berubah. Ada ungkapan lucu yang mengatakan, “Saat aku masih muda, aku mengubah dunia. Semakin aku tua, aku sadar bahwa dunia tidak bisa diubah dan aku harus hanya fokus mengubah diriku sendiri.”
Ungkapan tersebut sebetulnya menunjukkan kegalauan karena merasa gagal. Justru di The Avalon Consulting, Chairman sekaligus penulis buku Sigma Leadership, Setyo Hajar Dewantoro memberikan sebuah semangat baru dengan pendekatan yang berbeda.
“Rumusannya adalah selesailah dengan diri sendiri, jadikan diri kita sebagai versi terbaik sesuai rancangan Agung Tuhan dan ubahlah dunia dengan apa yang kita bisa. Dengan cara ini maka kita menjangkau medan energi kolektif yang lebih selaras sehingga dunia pasti berubah.”
Konsep tersebut adalah gaya kepemimpinan profetik yang tidak hanya mengandalkan kekuatan nalar, tapi juga kekuatan kosmik atau Tuhan. Kekuatan ini tidak akan bisa dijangkau dengan cara pendekatan rasional biasa karena hanya akan bisa muncul lewat Hening Cipta.
“Tidak ada pemimpin yang hebat, kecuali dia tuntas dengan dirinya melalui jalan Hening Cipta.”
Inilah yang disebut sebagai Jalan Pancasila, yakni bagaimana kita menyadari kekuatan diri dengan menyadari Ketuhanan Yang Maha Esa. Menyadari Ketuhanan Yang Maha Esa itu berbeda dengan hanya mengenal kata-kata tentang Tuhan menggunakan pendekatan kognitif biasa. Menyadari Ketuhanan Yang Maha Esa hanya bisa terjadi dengan jalan Hening Cipta, dan melalui pengalaman otentik perjumpaan dengan Tuhan yang nyata.
Mengapa perubahan besar tidak bisa dilepaskan dari spiritualitas?
Tanpa spiritualitas perubahan akan menjadi seperti bola liar karena keserakahan ditunggangi oleh kebijaksanaan. Meski ada kemajuan, kita justru mengalami degradasi dalam banyak hal, termasuk degradasi lingkungan dan kemanusiaan. Banyak orang yang tidak bisa bahagia, maka kita harus menemukan formula yang bisa mengatasi situasi tersebut.
Buku Sigma Leadership sebetulnya memiliki formula tersebut, tetapi kita dibuat lupa akan ilmu kepemimpinan agung ini. Bangsa kita menjadi lemah karena kita dibuat lupa pada budaya luhur kita. Budaya luhur bukan hanya tentang adat atau hal-hal yang bersifat artifisial, tetapi tentang kesadaran murni. Bangsa kita belum kunjung berhasil mencapai cita-cita kemerdekaan karena belum mempraktikkan esensi dari tradisi kita yang agung, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Spiritualitas membuat kita mampu berubah dari dalam, bukan sibuk mempertahankan kemunafikan dengan menutupi sisi gelap kita sendiri. Ketika jiwa kita bertransformasi, maka pikiran, kata-kata dan tindakan kita selaras dengan kebenaran sehingga seorang pemimpin bisa tampil apa adanya. Saat ini kita memang kekurangan sosok yang otentik. Banyak orang yang memiliki jabatan justru senang bersikap munafik. Untuk diterima banyak orang, mereka menggunakan cover (bungkus), dan religi merupakan bungkus yang paling menarik saat ini. Sebagian lainnya menggunakan citra nasionalisme. Tetapi apapun bentuk bungkusnya, sama-sama tidak mencerminkan keotentikan.
Buku Sigma Leadership kembali mengajak semua orang untuk menjadi otentik. Kita kembali menjadi diri yang murni, bersikap dan tampil apa adanya, tanpa kamuflase atau pencitraan apa pun, hidup dengan kesadaran yang murni. Jadi, bagi siapapun yang masih peduli kepada bangsa ini patut mempelajari buku Sigma Leadership.
Bagi Anda yang tertarik untuk memesan buku tersebut dapat mengakses link pemesanan di tautan ini.
Sumber
Bedah Buku Sigma Leadership bersama Setyo Hajar Dewantoro, 11 Maret 2023