Skip to main content

Critical thinking atau berpikir kritis adalah kemampuan berpikir untuk menganalisa dan mengevaluasi sebuah informasi dengan obyektif. Kemampuan ini dibutuhkan apabila ada isu atau problematika yang membutuhkan solusi lebih cepat dan efektif. Penekanan pada kata obyektif berpatokan pada batasan tertinggi yang dapat dicerna sesuai kapasitas kognitif. 

Berpikir kritis membutuhkan kemampuan modal nalar yang logis, sehat dan konstruktif agar dapat melakukan asesmen dan analisa dari kumpulan data, bukti dan informasi yang relevan dan komprehensif yang berasal dari berbagai sudut pandang. Dalam berpikir kritis, mencakup analisa situasi dengan mendetail dan mengolah beragam argumentasi untuk mengidentifikasi kekurangan, bias dan ketidakkonsistenan dalam penalaran yang tadinya belum ditemukan. 

Dalam melatih kemampuan berpikir kritis, sebaiknya dibarengi dengan semangat meriset dan menemukan pembuktian melalui berbagai cara yang relevan, misalnya seperti melakukan percobaan (trial & error), melakukan metode analisis terukur, melakukan riset saintifik dan riset literatur. Semakin lengkap data dan informasi yang dapat dibuktikan, semakin obyektif evaluasi dilakukan, maka semakin tinggi akurasi dan kejernihan dalam mengambil keputusan (decision making) maupun dalam proses menyelesaikan masalah (problem solving). 

Memiliki kemampuan berpikir kritis bukan berarti memiliki pola nalar penuh skeptisisme, tetapi dengan membangkitkan ketertarikan dan rasa ingin tahu (curiosity) yang konstruktif secara intelektual. Rasa ingin tahu yang dibarengi sikap netral dan observatif,  secara natural akan menciptakan pertanyaan yang relevan untuk mengklarifikasi asumsi dan mengkalibrasi informasi lama yang sudah tidak cocok lagi. Sehingga kemudian menciptakan hasil analisa yang kongkrit, logis dan konsisten melalui pembuktian dan kesaksian yang nyata.

Dalam Kepemimpinan Sigma, proses analisa yang obyektif menjadi dasar dari kemampuan berpikir kritis dimana obyektivitas tidak terbatas pada kemampuan intelektual saja. Melalui praktik mindfulness dan capaian kesadaran murni, maka cakrawala pandang akan terbuka semakin luas sehingga meningkatkan kecerdasan intelektual. Perangkat kecerdasan terdaya guna dengan optimal sehingga menghasilkan ketajaman dan akurasi yang lebih baik dalam menganalisa dan mengevaluasi sebuah informasi.

Membangun keterampilan berpikir kritis tentu membutuhkan latihan dan keberanian melakukan pendekatan yang terstruktur seperti yang dilakukan melalui pelatihan kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership, antara lain:

  1. Tingkatkan self-awareness dan mindfulness 

Melalui peningkatan self-awareness dan praktik mindfulness, maka akan meningkatkan kemampuan observasi yang netral dan jernih sehingga proses analitis akan berjalan tanpa bias dan distorsi. Membangun mindfulness atau kesadaran yang dilakukan dengan meditasi/hening pemurnian jiwa, akan membuka cakrawala pandang menjadi lebih luas. Proses analisa dan pengambilan keputusan dapat berjalan dengan lebih jernih serta penuh kebijaksanaan karena tidak terdistorsi oleh tumpukan emosi yang terpendam, ilusi atau angkara murka.

  1. Tingkatkan pengetahuan dan kecerdasan

Belajar dan lakukan perbaikan dari pengalaman kegagalan maupun keberhasilan, membuka wawasan dan memperdalam kemampuan mengobservasi dengan netral. Mengumpulkan  koleksi pengalaman dan pengetahuan sebagai tacit knowledge  yang akan mempertajam kecerdasan intuitif . Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman otentik yang dimiliki maka secara natural meningkatkan kepercayaan diri dalam mengasah kemampuan berpikir kritis.

  1. Pastikan berpikir kritis dengan penalaran yang sistematis

Dalam proses evaluasi dan analisa, seringkali dihadapkan kepada resistensi. Maka membutuhkan ketenangan dan kebijaksanaan untuk mengulas kembali hasil analisa berdasarkan fakta, data dan pembuktian untuk memberikan penalaran yang paling tepat, paling obyektif, paling menguntungkan bagi semua pihak dan yang terpenting adalah paling minimal resiko bagi semua pihak yang terkait. 

Meningkatkan kemampuan berlogika sehat dan kemampuan analitik yang diimbangi dengan praktik mindfulness, menata pola pikir agar tidak hanyut pada bias kognitif dan overthinking. Memutuskan dengan pola nalar yang dipengaruhi oleh emosi, ilusi atau angkara murka tentu tidak dianjurkan, karena memberikan hasil analisa yang bias oleh kepentingan pribadi sudah pasti merusak kebijaksanaan dan pengetahuan yang dimiliki. 

  1. Identifikasi potensi resiko dan konflik sedini mungkin

Pertimbangkan segala potensi resiko dan konflik dengan mempertanyakan hasil analisa dari sudut pandang yang sederhana. Seringkali proses analisa dan evaluasi dilakukan dengan kerumitan yang berlebihan dan tidak diperlukan, sehingga melupakan hal sederhana yang seharusnya menjadi perhatian. Mengulas kembali melalui sudut pandang yang berbeda, akan membuka pemahaman yang lebih mendalam dan pengertian yang lebih mendetail. 

  1. Refleksikan dan evaluasi kembali setiap hasil berpikir kritis

Refleksikan dan evaluasi kembali setiap pencapaian, korelasikan dengan kisah kegagalan maupun keberhasilan yang pernah terjadi. Elaborasikan dengan seluruh data dan informasi yang pernah didapatkan termasuk respon, komen, argumen dan kritik untuk mendapatkan hasil yang semakin obyektif. 

Bukalah wawasan melalui momen reflektif dan kontemplatif sehingga cara pandang tidak terpaku hanya pada satu sudut pandang personal saja. Pola berpikir yang subyektif merupakan penghambat terbesar dalam berpikir kritis. Cara pandang dan pola berpikir yang dipengaruhi oleh subyektivitas personal, atau dilandasi oleh beragam spektrum emosi dan  ilusi atau angkara murka, akan mendistorsi obyektivitas dalam proses analisa dan evaluasi. Praktik mindfulness melalui meditasi/hening pemurnian jiwa, berfleksi dan mengevaluasi kembali penalaran serta logika dapat dilakukan dengan kejernihan mental dan kejernihan emosi.

Dalam kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership, praktik mindfulness dan pencapaian kesadaran murni merupakan pondasi dari proses pertumbuhan dan perkembangan diri. Dimana kita semua dilatih agar menjadi agen perubahan yang mentransformasi diri menjadi versi yang terbaik.

The measure of intelligence is the ability to change – Albert Einstein.

 

Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
16 Februari 2025