Bekerja keras yang dimaksud adalah bekerja sebaik-baiknya dengan kemampuan dan kapasitas optimal yang dimiliki, bukan bekerja dengan beban berlebihan. Bekerja sebaik-baiknya tidak perlu menjadi beban yang berlebihan atau overburden.
Kualitas kinerja sangat erat dipengaruhi oleh kesehatan mental jiwa raga. Habit gerak pikir merupakan pemeran utama yang menjadi penyebab berbagai penyakit baik bagi mental jiwa maupun raga, yang kemudian akan memberikan dampak langsung pada kualitas kinerja di keseharian. Sebelum mengenal Kepemimpinan Berbasis Kesadaran Sigma, saya sering mencoba metode yang konon dapat membantu menghilangkan kepenatan, stress, dan gejala degradasi kesehatan mental lainnya yang seringkali menyabotase semangat kerja, menurunkan kualitas/ performa kinerja dan kecerdasan dalam mengerjakan sebuah kegiatan maupun pekerjaan.
Banyak metode yang berdampak meringankan gejala, namun memang hanya berlangsung sejenak dan tidak bersifat permanen. Dalam durasi waktu singkat akan membutuhkan pengulangan karena berputar dalam siklus yang sama, menanti bom waktu ledakan tumpukan beban berubah menjadi gejala degradasi kesehatan yang lebih berat, seperti burnout dan penyakit berat.
Melalui model Kepemimpinan Berbasis Kesadaran Sigma/ Sigma Leadership, saya menemukan metode terbaik untuk bekerja dan ber-multitasking tanpa mengalami gejala kesehatan mental. Saya menemukan cara untuk meredakan gejala degradasi fungsi otak dan kinerja fisik yang bisa dilakukan kapan saja dimana saja secara mandiri dan berkesinambungan. Metode yang memberikan dampak penyembuhan holistik sehingga meningkatkan fungsi otak dan kecerdasan secara optimal.
Habit/ kebiasaan berpikir yang berlebihan (overthinking), berprasangka dan berkhayal berlebihan akan memberi efek domino kepada pola pikir yang destruktif, penuh ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan (hypervigilant), stress, kelelahan mental dan emosi (burnout) sampai dengan anxiety dan depresi. Penurunan kinerja yang signifikan terjadi akibat kelebihan beban pada otak yang tidak sehat dan tidak konstruktif (overburden) sehingga berdampak langsung kepada degradasi kesehatan fisik dan kualitas kinerja.
Gejala klinis yang mudah dideteksi seperti kesulitan berkomunikasi karena terlalu sensitif terhadap komentar ringan (emotional hypersensitivity) dan melekat pada emosi destruktif lebih lama. Respon otak yang impulsif dan reaktif menciptakan prasangka dan asumsi yang tidak konstruktif (emotional reasoning) terhadap umpan balik, kritik dan situasi yang dianggap sebagai penolakan akibat harapan yang tidak terpenuhi.
Habit kerja otak yang tidak sehat dan tidak konstruktif akan memantik beragam spektrum emosi negatif yang dipendam (repress dan suppress) menyebabkan proses internalisasi penumpukan emosi berupa kesal, kemarahan (resentment), tertekan, depresi, dan kecewa mendalam, sehingga menurunkan kesehatan mental jiwa raga dan mendegradasi kualitas kinerja. Sebaliknya yang mungkin terjadi adalah externalisasi emosi negatif melalui aksi frontal kemarahan, menyalahkan pihak lain, membully, memanipulasi situasi, dan beragam tindakan katarsis lain yang tidak konstruktif bagi kesehatan mental jiwa raga maupun kualitas kinerja. Pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan efisien dan efektif, malah sebaliknya akan terjebak oleh siklus emosional yang merugikan diri maupun kegiatan atau pekerjaan yang sedang ditangani.
Melalui pelatihan Kepemimpinan Berbasis Kesadaran Sigma/ Sigma Leadership, saya dilatih untuk meningkatkan self-awareness dan mindfulness dengan membangun habit bermeditasi. Dilatih untuk tidak merepresi maupun mensupresi, dan tidak perlu mengalami proses internalisasi maupun eksternalisasi.
Kesehatan mentalmu jiwa ragamu memang tergantung dari bagaimana habit/kebiasaan gerak pikirmu sendiri. Apabila tidak pikiranmu tidak pernah diajak untuk bermawas diri (self-awareness ), tidak pernah diajak untuk berkesadaran (mindfulness ) dan tidak pernah diajak untuk bersyukur, maka gerak pikiranmu hanya didominasi oleh mental model overthinking yang mungkin saja membawamu kepada pencapaian sebuah target dalam pekerjaan namun berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan fisik.
Meditasi/ hening pemurnian jiwa yang dilakukan dengan tepat, akan merubah pola (reframe/rewire) alur kerja fungsi otak agar merekam habit/ kebiasaan yang lebih sehat dan konstruktif. Melatih fungsi observasi untuk menguatkan apa yang sering disebut dengan internal locus control, yaitu kontrol respon dari dalam diri terhadap situasi yang mempengaruhi hidup dan emosi.
Dalam praktik Kepemimpinan Berbasis Kesadaran Sigma/ Sigma Leadership, amatlah penting untuk sesering mungkin mengambil jeda (paused/step back) untuk bermeditasi/hening terlebih dahulu, meredakan keliaran pikiran, prasangka, ilusi dan emosi yang hadir agar kembali ke titik harmoni. Membawa kontrol lokus pada nafas natural, agar keliaran pikiran yang tidak sehat tergantikan dengan rasa syukur dan sukacita yang akan mengoptimalkan kerja otak dan kecerdasan.
Dalam Sigma Leadership, Inilah yang disebut dengan mengelola respon dengan metode reflektif dan kontemplatif, sehingga tidak reaktif, tidak impulsif, dan tidak hanya ditepis dengan teori kebajikan saja, tetapi kembali mawas diri (aware) agar mampu menyadari hadirnya gejolak dalam diri. Kemudian meditasi/heninglah dengan cara yang tepat agar kembali masuk ke ruang kesadaran (mindfulness) dan terjadi harmonisasi kinerja otak dan kecerdasan. Apabila habit baru ini bisa dilakukan dengan konsisten maka tidak akan terjadi beban berlebihan, overstressed dan overburden dalam menyikapi sebuah kegiatan atau pekerjaan.
Bagi yang mampu mengelola kontrol lokus dari dalam dengan baik maka sudah pasti:
- Lebih memiliki rasa tanggung jawab terhadap tindakan dan pekerjaan dilakukan.
- Tidak mudah dipengaruhi oleh opini orang lain.
- Memiliki kepercayaan diri yang baik dan selaras.
- Secara natural akan menikmati proses dan kerja keras, karena yang menyukai hasil instan adalah pemalas.
- Lebih tangguh ketika menghadapi tantangan, mampu berpikir dengan nalar yang sehat dan konstruktif
Kalau kontrol lokus ada pada situasi di luar diri, beberapa gejalanya adalah sebagai berikut:
- Lebih senang mencari kesalahan di luar diri dan senang menyalahkan orang lain demi menjaga citra dirinya.
- Keberhasilan kerja biasanya hanya mengandalkan faktor keberuntungan saja, sehingga tidak pernah stabil dan konsisten.
- Kemalasan yang absolut sehingga terlalu malas untuk memperbaiki diri dengan usaha sendiri, maunya orang lain yang melakukan untuk dirinya.
- Selalu merasa tidak mampu dan tidak punya kekuatan apabila berhadapan dengan situasi yang sulit.
- Sering merasa frustasi, mudah melempem dan ngambek sebagai alasan untuk tidak berusaha, atau disebut juga sebagai self sabotage dan mental block.
Bekerja keras bukanlah bekerja dengan beban dan aksi yang berlebihan (overburden) sehingga tidak memperdulikan kesehatan mental jiwa ragamu, tetapi bekerja dengan kemampuan terbaik yang dimiliki sesuai potensi dan kapasitas optimal. Setiap manusia diberi perangkat yang super canggih agar mampu didaya guna dengan optimal dalam berkarya. Maka asalkan mau melatih dengan cara yang tepat maka tidak akan terjadi beban kerja berlebihan (overburden) bagi mental maupun fisik.
Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
30 Januari 2025