Beberapa waktu yang lalu saya menulis tentang bagaimana pemerintahan Presiden Trump berusaha membantu Boeing dari keterpurukan, dengan memberikan kontrak pembuatan pesawat jet tempur F-47. Diharapkan bantuan ini akan membantu kesulitan finansial dan kepercayaan karyawan kepada perusahaan.
Tapi di sisi lain, rupanya kebijakan tarif pemerintahan Presiden Trump semakin membuat Boeing dalam posisi yang sulit. Sebelum diberlakukannya tarif, Boeing sudah banyak melakukan penundaan penyelesaian pesanan pesawat karena kendala faktor keamanan pesawat, dan mogok kerja karyawan. Setelah adanya tarif, Boeing semakin sulit menyelesaikan pesanan pesawatnya tepat waktu.
Boeing adalah perusahaan kebanggaan AS. Perusahaan yang merepresentasikan kejayaan dirgantara AS dan pesawatnya ini digunakan hampir di semua negara di seluruh dunia. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 172 ribu karyawan. Memang tidak sebesar Walmart yang mempekerjakan 2,1 jutakaryawan atau Amazon dengan 1.5 juta karyawan, tapi jumlah karyawan Boeing relatif besar bila dibandingkan dengan perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan karyawan terbanyak, seperti Astra 129 ribu, Indofood 91 ribu, Alfamart dan BRI masing-masing sekitar 79 ribu karyawan. Artinya, sukses atau gagalnya Boeing akan mempengaruhi jumlah pengangguran di AS.
Kenapa tarif semakin mempersulit posisi keuangan Boeing, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Kenaikan biaya produksi.
Supply chain atau pasokan bahan baku Boeing, seperti perusahaan lain, sangat terintegrasi dan bergantung dari banyak negara. Komponen dari satu pesawat tidak berasal dari AS saja tapi dari berbagai negara yang harganya jadi mahal ketika masuk ke AS. Siapa yang bayar? ya Boeing. Sebagai contoh pesawat 787 Dreamliner, dimana komponen-komponennya berasal dari berbagai negara. Misalnya pintu penumpang dari Perancis, pintu cargo dan sayap dari Jepang, mesin dari Inggris, yang jika dikalkulasi total 60%-80% komponennya berasal dari luar AS. Belum lagi sanksi/embargo China atas logam tanah jarang (rare earth) yang sangat diperlukan dalam produksi pesawat. Otomatis Boeing harus mendapatkan rare earth ini dari tangan ketiga yang harganya lebih mahal.
- Kenaikan harga pesawat karena tarif balasan.
China menetapkan tarif balasan untuk produk impor dari AS. Konsekuensinya, harga Boeing di China semakin mahal. China telah membatalkan pembelian Boeing dan komponennya. China bisa mengalihkan pembelian pesawatnya ke Airbus dan bikinan China sendiri COMAC.
Masalah internal Boeing dan kemudian tarif semakin memundurkan penyelesaian produksi pesawat. Akibatnya maskapai penerbangan utama dunia membatalkan atau berencana membatalkan pesanan pesawat dari Boeing seperti Ryanair, Emirates, Qatar Lufthansa, dan Cathay Pacific. Sangat beralasan bahwa pengiriman pesawat yang tertunda akan mengganggu perencanaan peremajaan pesawat. Pelanggan akan senang naik pesawat yang baru dibanding pesawat tua. Maskapai penerbangan berharap bisa menghemat biaya dalam pemakaian bahan bakar di pesawat yang baru. Rencana ekspansi ke jalur baru akan gagal bila pesawat tambahan tidak kunjung hadir dan keburu diambil pesaing.
AS tidak akan berhasil dengan MAGA (Make America Great Again) bila menutup dirinya dengan tarif. AS butuh negara lain, dan negara lain butuh AS. Untungnya kesepakatan 90 hari AS dan China tercapai di Jenewa, Swiss pada 11 Mei 2025. China segera membatalkan embargo Boeing dan menerima pesawat dan komponen Boeing kembali. Sedikit nafas lega untuk Boeing. Namun belum jelas bagaimana nasib penangguhan ekspor logam tanah jarang (rare earth)dari China ke AS. Sepertinya ini masih menjadi topik pembicaraan bagi kedua negara.
Apa yang terjadi dengan Boeing menjadi pelajaran berharga. Ketika masalah internal dengan pegawai selesai, muncul masalah eksternal. Dalam banyak hal, perusahaan tidak bisa mengendalikan masalah eksternal tapi sangat bisa mengendalikan masalah internal. Adalah penting sebuah perusahaan memastikan kekompakan dengan karyawannya (employee engagement) untuk menghadapi masalah eksternal bersama, seperti kasus Perusahaan Victorinox.
Semoga jajaran manajemen dan pegawai Boeing semakin bersatu dan bisa keluar dari permasalahan ini bersama-sama. Hal yang pasti, pemerintah Trump juga tidak akan tinggal diam untuk membantu permasalahan Boeing, seperti dalam kunjungan ke Qatar pada 14 Mei 2025, Trump memastikan bahwa pemerintah Qatar tidak membatalkan pesanan pesawat tapi malah menambah menjadi 150 pesawat.
Eko Nugroho
Mentor The Avalon Consulting
15 Mei 2025