Salah satu tugas penting dari seorang pemimpin adalah memberi masukan (feedback) kepada yang dipimpinnya. Masukan ini bentuknya bisa berupa coaching atau mentoring atau bahkan directing. Intinya bagaimana yang dipimpin ini menyadari apa yang salah dan baik sehingga bisa memperbaiki yang salah dan mempertahankan yang sudah baik. Asumsinya, pimpinan memang benar-benar ingin yang dipimpinnya bisa berkembang dan memperbaiki kinerjanya.
Sebuah artikel di Wall Street Journal (WSJ) (3/8/2024) yang ditulis oleh David Yeagar, menarik untuk saya share ke pembaca.
Dalam dunia psychology ada istilah yang disebut “mentoring dilemma”. Dilemanya adalah memilih mana yang tepat antara meminta “mentee” (yang di mentori, dibaca menti) untuk meningkatkan kinerjanya dengan cara lembut atau mengharuskan Si Menti untuk meningkatkan kinerja dengan cara yang keras bahkan seolah-olah kejam. Kesalahan memilih cara mentoring sering kali membuat Si Mentor frustasi karena bingung memilih cara yang mana atau kadung sudah salah menerapkan dan menti ketika mendapat masukan yang tidak pas, bisa merasa diserang yang akhirnya bersikap kebalikan dari yang diharapkan.
Ada lagi istilah yang disebut dengan “compliment sandwich” istilah untuk memberikan masukan dengan cara dengan menyembunyikan kritik dengan dua pujian. Caranya dengan mengatakan hal positif, negatif dan ditutup dengan positif lainnya. Contohnya begini: “saya suka dengan semangatmu (positif), kinerja di bawah standar dan perlu ditingkatkan (negatif), tapi saya suka karena kamu punya perilaku yang baik (positif).” Dalam prakteknya, compliment sandwich sering dilakukan dan berhasil. Cara ini memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi bawahan. Tapi tetap saja, bagi beberapa kasus tidak berhasil. Terutama bagi yang terlalu “sensitif” yang sering diatribusikan ke gen Z.
Dalam artikel ini ada riset yang dilakukan ke murid-murid kelas 7 (SMP). Mereka diminta oleh gurunya menulis essay (kalau di kita pelajaran mengarang) tentang pahlawan pribadi mereka. Para guru diminta untuk memberikan feedback (masukan) atas tulisan muridnya. Seperti biasa guru memberikan masukan seperti: “tambahkan koma di sini”, “diatur ulang kalimat ini” atau “jelaskan lagi maksud kalimat/paragraf ini”. Separuh dari murid ditambah dengan catatan: “saya memberikan catatan ini agar kamu mendapat masukan atas tulisanmu” (istilah dalam artikel ini: masukan kritik) dan separuh lagi dengan catatan yang disebut “wise feedback” (masukan bijak) yaitu: “saya memberikan catatan ini karena saya memiliki standar yang tinggi dan saya yakin kamu juga bisa mencapainya”.
Setelahnya, murid-murid diberi pilihan (bukan keharusan) untuk merubah tulisannya atau tidak (yang merubah mengembalikan ke gurunya dengan revisi). Menurut riset yang dilakukan di 2014 ini, yang merevisi dan mengembalikan tulisan ke gurunya: 40% bagi yang diberi masukan kritik dan 80% bagi yang diberi masukan bijak (atau 2 kali lipat).
Riset ini diulang lagi tahun depannya, dan hasilnya juga sama. Murid-murid kelas 7 lebih bisa menerima masukan menggunakan masukan bijak. Yang lebih mengejutkan, ternyata murid berkulit hitam lebih mendapat manfaat lebih besar. Rupanya murid-murid berkulit hitam sering mendapat tindakan disiplin yang lebih keras untuk kesalahan yang sama dibanding etnis lainnya yang membuat mereka lebih skeptik (pesimis) atas segala masukan. Catatan yang dikategorikan sebagai “masukan bijak” oleh gurunya dipandang oleh murid kulit hitam dapat mengembalikan “trust” (kepercayaan) bahwa Sang Guru mempunyai intensi yang tulus (otentik).
Riset ini juga mengatakan bahwa ketika Anda meminta generasi muda ini untuk meningkatkan standarnya dan Anda percaya bahwa mereka bisa mencapainya, sebenarnya Anda sedang menunjukkan respek dengan serius. Mendapat respek ini bagi mereka memberikan motivasi untuk memperbaiki diri.
Menarik ya? Bagi yang pernah gagal menggunakan “compliment sandwich”, silakan dicoba cara “masukan bijak” di atas. Selamat bereksperimen.
Eko Nugroho
Mentor dan Vice Chairman The Avalon Consulting
25 Agustus 2024
Sumber foto: LinkedIn