Skip to main content

Kata sederhana ini sepadan dengan kata-kata lain seperti lead by example (memimpin dengan contoh), walking the talk (melakukan apa yang dikatakan), don’t tell me how to do, but show me how to do (jangan hanya mengatakan apa yang harus dilakukan, tapi tunjukkan bagaimana melakukannya).

Memimpin organisasi, korporasi, atau unit di pemerintahan tidak jauh berbeda dengan cara kita mendidik anak. Orang tua yang menasehati anak untuk sabar dalam menunggu antrian, tapi dirinya sendiri mencontohkan perilaku menyerobot dalam antrian, maka perilaku menyerobot antrian akan diikuti oleh si anak. Melarang anak merokok, tapi dirinya sendiri merokok, maka sang anak akan mempunyai kecenderungan tinggi untuk merokok, walaupun mungkin sembunyi-sembunyi. Lebih parah lagi, si anak jadi belajar bahwa adalah hal yang wajar bahwa “ucapkan boleh berbeda dengan yang dilakukan” (mencontohkan kemunafikan). Seorang pemimpin partai yang berteriak dengan lantang “ganyang koruptor” tapi malah korupsi, hampir dipastikan semua anggota partainya akan mencontoh hal yang sama. Apa yang dilakukan pemimpin dalam keseharian akan dicontoh oleh pengikutnya, baik contoh baik maupun contoh buruk. 

Keteladanan mudah menyebutkannya tapi sulit melakukannya dengan konsisten. Kata keteladanan adalah kata kunci yang membedakan antara Pemimpin dan Boss.

Dalam Buku Sigma Leadership (hal. 267), dijelaskan beberapa hal mengenai keteladanan: 

  • Pemimpin memberi inspirasi lewat keteladanan, seorang bos hanya memberikan perintah tanpa peduli soal keteladanan. 
  • Seorang anak buah atau pengikut, ia menjalankan perintah dari leadernya dengan sukarela, dengan kesadaran penuh, tergerak betul-betul agar kemudian secara bersama-sama bisa mencapai tujuan yang Agung. 
  • Tetapi jika kita melihat bagaimana profil seorang bos, anak buahnya akan mengikuti perintahnya bukan karena hatinya setuju, bukan karena dia betul-betul tergerak untuk menjalankan hal yang terbaik, tetapi lebih karena faktor, bisa takut, bisa juga karena dia sedang “balik memanipulasi” si bosnya. Pura-pura baik di hadapannya untuk mendapatkan perhatian, mendapatkan simpati, dan seterusnya. 
  • Dalam jangka panjang pola relasi antara bos dengan anak buah, yang tidak didasari rasa percaya, di mana si bos tidak memberikan keteladanan yang dibutuhkan, itu akan bubar dengan sendirinya. Yang kita butuhkan adalah keberadaan seorang pemimpin yang bisa membangun sinergi dalam jangka panjang.

Iya bisa sih, tanpa “trust” seorang bos bisa menyuruh anak buah melakukan sesuatu karena alasan sudah digaji dan bos mendapat surat keputusan untuk duduk di jabatan itu. Tapi relasi ini tidak akan berlangsung lama atau berkelanjutan. Yang pasti , pola “boss” ini, tidak akan berhasil diterapkan di organisasi kemasyarakatan yang basisnya sukarela tanpa dibayar. 

Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya, untuk bisa menjadi teladan, pemimpin harus sudah selesai dengan dirinya sendiri atau pemimpin yang non-egoistik atau yang telah berhasil memimpin dirinya sendiri. Pemimpin yang tidak menyalahkan keadaan di luar diri atas nasibnya. Pemimpin yang sadar bahwa dirinyalah yang bertanggung-jawab atas takdirnya ke depan. 

Tapi saya sudah kadung jadi pemimpin, kapan saya jadi pemimpin yang hebat, kalau saya sampai sekarang masih belum bisa memimpin diri saya sendiri?  Mulailah gunakan akal sehat Anda dan niteni setiap langkah Anda, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Niatkan berubah dengan sungguh-sungguh. Komit dengan niat dan berdisiplin dalam melakukan perubahan, beranilah terbuka menanyakan ke anak buah, teman kerja, bahkan pelanggan untuk mendapatkan kritik dan saran. Dan terakhir, beranilah keluar dari zona nyaman untuk menjadi diri Anda yang lebih baik.

 

Sumber foto: https://www.flickr.com/