Skip to main content

Menyambung tulisan sebelumnya mengenai kompetisi, mari kita bahas lebih lanjut. Apa yang dilakukan Apple berbeda dengan Microsoft saat itu, bukan berarti juga Apple tidak menghiraukan apa yang terjadi di luar dan sibuk serta tenggelam dengan dirinya sendiri. Simon Sinek, menyebut kompetitor sebagai “worthy rival”.

Dalam bukunya “Infinite Game”. Simon bercerita tentang pengalaman dirinya merasa tersaingi dengan seorang penulis lain. Penulis lain ini menurut Simon “memiliki hal-hal yang saya tidak punya”. Sehingga dia selalu melihat perbandingan antara buku yang dia jual dan buku yang pesaingnya jual. Bila penjualan bukunya lebih banyak, Simon senang, namun apabila penjualan bukunya kalah, maka jadi ia galau. Dalam forum-forum diskusi, mereka sering diundang tapi dihadirkan dalam jam atau hari yang berbeda. Sampai suatu saat mereka dihadirkan dalam satu forum yang sama. Dalam pengakuannya, Simon merasa tidak nyaman. Lebih parah lagi ketika sang moderator tidak membaca CV pembicara tapi meminta Simon yang mengenalkan pesaingnya dan sebaliknya.

Sebuah pengalaman yang tidak nyaman untuk Simon, walaupun akhirnya mengatakan dengan jujur bahwa pesaingnya ini memiliki hal-hal yang tidak dimilikinya. Begitu pesaingnya diberi kesempatan untuk memperkenalkan Simon, dia memulai dengan kata-kata “saya juga merasa Simon memiliki apa yang saya tidak punya”. Bermula dari peristiwa ini, keduanya menjadi semakin akrab. Simon sering mempromosikan buku pesaingnya, dan pesaingnya juga mempromosikan buku-buku Simon.

Simon mengubah cara pandang pesaing dari “musuh yang harus dikalahkan” menjadi “worthy rival” atau saingan yang berharga. Dengan merubah cara pandang ini, Simon melihat pesaing sebagai sarana bagi dirinya untuk bisa berkaca, dan memperbaiki dirinya lebih baik lagi. Karena ada pesaingnya, Simon akan bisa menulis buku lebih baik lagi atau menjadi pembicara lebih baik lagi juga. Simon tidak fokus pada bagaimana mengalahkan pesaingnya, tapi fokus pada perbaikan dirinya yang terus menerus.

Prinsip ini juga yang dianut dalam Kepemimpinan versi Avalon (Buku Sigma Leadership hal. 155) “Harus dibedakan antara semangat mengalahkan orang lain dengan semangat memberikan yang terbaik. Kalau kita terjebak pada semangat mengalahkan orang lain, kita pasti akan menderita sendiri.  Repotnya semangat mengalahkan orang lain ini bahkan bisa terjadi di dalam satu rumah tangga, kalau suaminya maju istrinya malah senewen. Atau sebaliknya, itu kan kacau. Itu akan menimbulkan penderitaan, apalagi bila sama tembok juga berkompetisi, itu bikin Anda menderita. Dan itu memang dalam beberapa kasus itu bawaan orok dalam arti itu sudah tercetak di DNA. Nah kalau kita sadar maka harus dibereskan.”

“Sekali lagi untuk menjadi yang terbaik di bidang kita, tidak usah fokus untuk mengalahkan orang lain. Berfokuslah untuk betul-betul unlock the potential atau membuka kunci potensi dari diri kita sendiri, terus memperbaiki proses dari apa yang kita kerjakan. Terus mengembangkan ide-ide yang semakin kreatif untuk membuat kita berada di posisi yang berbeda dengan apa yang selama ini sudah ada. Sekali lagi kita tidak usah pusing dengan orang lain. Misalnya ternyata orang lain melakukan hal yang istimewa, kalau kita kompetitif kita sengsara karena iri pada keistimewaannya, kalau kita tidak kompetitif justru kita akan ikut senang bila orang lain mencapai hal yang istimewa.”

“Di kehidupan sehari-hari memang banyak orang menggunakan pendekatan kompetitif. Misalnya sebagai pebisnis yang ingin bisa mengalahkan orang lain, kalau bisa bisnis sendiri saja yang hidup.  Apalagi kalau yang primitifnya keterlaluan, sampai menggunakan jasa dukun supaya lawannya itu tumbang.  Inilah yang menciptakan lingkaran penderitaan.”