Skip to main content

Setiap perusahaan mempunyai karakteristik hubungan manajemen dan karyawan yang berbeda-beda. Perusahaan dengan basis IT atau konsultan misalnya, cenderung mempunyai karyawan dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Untuk menjadi karyawan di perusahaan IT, karyawannya biasanya mempunyai kualifikasi IT (programmer, coder, business analist, dll) yang didapat dari jenjang pendidikan atau pengalaman yang panjang. Perusahaan konsultan, misalkan konsultan pajak, memerlukan pegawai dengan kualifikasi sertifikat perpajakan atau sekolah perpajakan dan atau punya pengalaman di bidang pajak. Bahkan konsultan pajak bisa punya karyawan dari ex-petugas pajak. Sama dengan perusahaan audit, pegawainya cenderung memiliki kualifikasi di bidang akuntansi.

Berbeda dengan perusahaan “labor intensive” (padat karya) seperti pabrik tekstil, pabrik rokok, tambang yang memerlukan banyak tenaga manusia (batu bara, tembaga, emas, dll). Di perusahaan seperti ini, karena cenderung memerlukan kerja otot, maka kualifikasi yang diperlukan relatif lebih rendah dari perusahaan konsultan atau jasa lainnya. Tentunya untuk bagian tertentu di perusahaan padat karya, seperti Keuangan, Perpajakan, HRD tetap diperlukan karyawan dengan kualifikasi lebih tinggi.

Di sinilah muncul kemudian istilah “blue collar” dan “white collar” atau kerah biru dan kerah putih. Yang pertama adalah mereka yang dikategorikan sebagai pekerja yang melakukan pekerjaan fisik (menggunakan mesin, mengendarai kendaraan, dll) dan yang kedua adalah yang tidak melakukan pekerjaan secara fisik atau bahasa kerennya manajemen, administrasi, atau staff. Istilah kerah putih ini, mungkin lebih dikenal adalah istilah “kejahatan kerah putih” yang mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terdidik, mempunyai posisi tinggi, atau tidak tampak kejahatannya secara kasat mata. Golongan kerah biru juga sering disebut dengan istilah non-staff, buruh, atau pekerja. 

Di perusahaan berbasis teknologi dan konsultan cenderung tidak ada pemisahan yang tegas antara kerah putih dan kerah biru. Sementara, di perusahaan padat karya, pemisahan ini terlihat kentara. Sehingga kemudian di perusahaan padat karya ini muncul serikat pekerja atau buruh yang mewadahi kepentingannya. Dalam ketentuan hubungan industrial, pemisahan ini dipertegas dan disebut sebagai Pengusaha (kerah putih) dan Pekerja/Buruh (kerah biru).

Agar perusahaan bergerak dengan lancar serta tumbuh dan berkembang dengan baik, diperlukan hubungan yang harmonis antara pengusaha dan pekerja/buruhnya. Pekerja/buruh mempercayai bahwa pengusaha akan dengan adil memberikan apa yang menjadi haknya dan Pengusaha sadar bahwa perusahaan ada dan berkembang karena peran dan jasa pekerja/buruhnya. Keduanya diharapkan selalu melakukan komunikasi yang efektif untuk menjaga dan menyelesaikan perbedaan yang mungkin timbul. Dalam ketentuan hubungan industrial, wadahnya disebut sebagai Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit).

Dalam kenyataannya, hubungan yang harmonis ini kadang faktanya tidak seperti yang diidealkan. Hubungan yang terjadi bisa renggang bahkan saling menyakiti pihak lain (demo, mogok kerja, slow work, sabotase, dll). Sebabnya bisa macam-macam. Bisa berasal dari pengusaha, bisa juga dari pekerja. Yaitu ketika masing-masing mementingkan egonya. Pengusaha ketika mendapat keuntungan besar dan pelit tidak membaginya dengan karyawan bisa memicu rasa ketidakadilan. Karyawan yang tergabung dengan serikat pekerja/buruh lebih mendengar hasutan pihak ketiga yang mengharapkan perusahaan gagal berkembang. Atau diberi impian-impian yang tidak realistik.

Sebagai perwakilan “pengusaha”, saya pernah menghadapi mogok kerja yang masif dan melumpuhkan operasi tambang, yang menurut saya disebabkan kesalahan kedua belah pihak. Pengusaha yang serakah dan serikat pekerja/buruh yang ditunggangi kepentingan-kepentingan pihak ketiga. Ujung-ujungnya kedua pihak dirugikan.

Untuk menghindari kejadian seperti di atas, komunikasi yang efektif antar perusahaan dan karyawan sangatlah penting. Dan tentunya niatan perusahaan dan karyawan yang tidak egoistik adalah syarat utama. Dalam komunikasi secara berkala, pengusaha perlu transparan atas keuntungan perusahaan serta mengkomunikasikan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sementara karyawan wajib memberikan upaya terbaik untuk perusahaan dan membantu bila perusahaan dalam situasi sulit. Tentunya setelah masing-masing pihak melepaskan kepentingan masing-masing dan komit untuk bersama-sama menuju misi, visi, dan menghayati nilai dan budaya perusahaan, maka kolaborasi menghasilkan sinergi yang indah akan terjadi dengan sendirinya.

 

Sumber foto: www.aiscreen.io