Skip to main content

Saya pertama kali mendengar istilah ini di kelas MBA (Master of Business Administration) di mata kuliah “Organization Behavior” semester pertama. Saat itu saya masih muda, belum punya pengalaman kerja yang mumpuni sehingga istilah ini sangat asing buat saya. Saat itu yang muncul dalam benak saya adalah pertanyaan, “Bukannya tugas pemimpin yang harusnya managing (mengelola) anak buahnya? Kenapa anak buah beraninya mengelola boss-nya? “

Faktanya, pertama, tidak semua di antara kita punya kesempatan memiliki boss yang telah mengaplikasikan Sigma Leadership atau pemimpin yang telah selesai dengan diri sendiri. Jadi managing boss jadi penting bila boss kita belum selesai dengan dirinya sendiri, yaitu bagaimana mengelola boss yang masih punya sisi-sisi gelapnya. 

Yang kedua, di antara kita masih berada di “sandwichposition atau posisi tengah. Posisi ini disebut sandwich karena: ditekan dari boss di atas, namun di lain sisi kita harus mengelola anak buah juga. Jadi posisi tengah mau-mau tidak mau harus bisa mengelola atasan dengan baik. 

Berdasarkan pengalaman bekerja di perusahaan tambang selama 28 tahun, setelah saya hitung, saya pernah mempunyai boss sedikitnya 13 orang. Dari yang orang Indonesia, orang asing, yang lebih tua, yang lebih muda, pria, wanita, dan lain sebagainya, serta mereka memiliki sifat kepemimpinan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang lebih senang ngobrol hal-hal di luar pekerjaan daripada tentang pekerjaan itu sendiri. Boss ini lebih senang ngobrolin tenis atau main ke club mana setelah pulang kantor daripada masalah kerjaan. Akibatnya boss ini jadi peer atau rekan satu level, dan kemudian tidak lama menjadi anak buah saya, yang kemudian akhirnya mengundurkan diri

Ada yang suka mengambil kredit dari pekerjaan anak buahnya dan melaporkan seolah-olah itu adalah pekerjaannya sendiri. Ada yang tidak mau berkomunikasi di luar pekerjaan, bahkan tidak suka kalau diberi selamat ulang tahun. Ada yang tadinya teman kerja kemudian diangkat jadi boss dan menganggap saya sebagai “penghalang”. Ada juga yang mudah curiga dan posesif. Pagi-pagi ditelpon bos bule dan bilang “come down and get your ass here” (segera turun dan ketemu saya). Selama di ruangan boss, dimarahi sesuatu yang tidak saya lakukan. Walaupun akhirnya boss ini tahu saya tidak melakukannya.

Ada yang memindahkan saya ke pekerjaan baru tanpa diberi tahu apa harapan yang harus saya kerjakan atau membekali dengan pengetahuan tentang pekerjaan baru. Jadi saya berjuang sendiri mencari tahu apa yang harus dilakukan. Tentunya ada juga yang sangat memberikan saya kesempatan untuk berkembang dan memberdayakan diri lebih baik lagi.

Dari pengalaman di atas, ada beberapa tip yang mungkin bisa digunakan bagaimana kita bisa mengelola boss kita dengan lebih baik:

  • Temukan jalan masuk untuk membangun komunikasi dengan boss. Komunikasi tidak hanya pas bekerja, tapi akan lebih baik dilakukan di luar jam kerja atau di luar kantor. Bisa dimulai dari hobby yang sama, pembicaraan tentang keluarga, sport, dll. Harapannya dengan komunikasi yang baik akan tercipta trust (kepercayaan) antara Anda dan boss Anda. Jadi jangan menunggu, sebaiknya pro-aktif membangun kepercayaan ini. 
  • Mengerti apa yang boss inginkan. Jangan takut bertanya kalau memang belum jelas penugasannya. Kalau perlu kita ulang tugas yang diberikan sebelum keluar ruangan agar jelas bagi kedua belah pihak. 
  • Kita sendiri harus transparan dengan boss kita dan bersikap profesional dengan pekerjaan kita. Tidak ada agenda tersembunyi, apalagi terlibat dengan politik kantor. Misal kita sering menceritakan kejelekan atasan kita ke boss lain agar kita ditarik ke bagian lain, dll.
  • Mendapat “toxic boss” kadang memang sudah menjadi bagian dari nasib dan resiko pekerjaan. Bila itu terjadi, kita tidak perlu hanyut karenanya. Fokus dengan tugas yang diberikan dan kerjakan sebaik-baiknya.
  • Dalam beberapa kesempatan, boss tidak memberikan tugas dengan komprehensif. Untuk itu, kita harus memposisikan diri kita dalam posisi boss agar kita bisa memberikan data atau informasi yang relevan untuk boss kita. Tidak hanya yang diminta, tapi hal-hal lain yang mungkin relevan.
  • Dokumentasikan semua tugas yang diberikan. Dalam beberapa hal kita diminta untuk mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya perusahaan dan kita tidak kuasa menolaknya. Memiliki catatan dokumentasi tugas akan berguna bila harus ada audit tentang hal ini. 

Hal-hal di atas saya lakukan ketika saya belum belajar keheningan. Seandainya saya memutar kembali masa lalu, ada beberapa hal yang bisa saya lakukan lebih baik lagi dalam managing my boss:

  • Kalau punya boss yang toxic, jangan biarkan boss tersebut mengambil kesukacitaan kita. Kalau dulu saya dimarahi mungkin terus kepikiran berhari-hari. Kalau sekarang, akan tetap suka cita apa pun yang terjadi. Paling banter syok sebentar, meditasi dan kembali ke kesukacitaan kita.
  • Lakukan tugas kita sebaik-baiknya dengan suka cita. Kalau ternyata apa yang kita kerjakan kurang berkenan, ya nggak usah baper dan lakukan perbaikan segera dengan suka cita juga. Kesukacitaan tidak bergantung dari boss senang dengan pekerjaan kita atau tidak. Kita bersukacita karena telah melakukan pekerjaan yang terbaik yang kita bisa lakukan.

Itu berdasarkan pengalaman saya, silahkan bila ada yang ingin berbagi dan menambahkan tip “managing your boss”, dipersilahkan.

 

Eko Nugroho
Mentor dan Vice Chairman The Avalon Consulting
30 November 2024