Skip to main content

Perbedaan dan konflik adalah hal yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, relasi sosial, maupun dunia kerja. Ini merupakan dua hal yang berbeda dan seringkali menjadi sumber masalah bila tidak kita salah menyikapinya, tak jarang malah berakibat fatal. Mari kita bedah pembelajaran penting tentang perbedaan dan konflik dari buku Sigma Leadership, yang disusun oleh Chairman Avalon Consulting, Setyo Hajar Dewantoro.

Buku Sigma Leadership hal 126: “Perbedaan adalah sebuah keniscayaan bahkan bisa menjadi kepastian, tetapi bentrokan atau perbenturan, atau pertengkaran akibat perbedaan itu adalah pilihan kita.”

Perbedaan terjadi di mana saja, di rumah, di sekolah, di pasar, dan tentunya di tempat kerja. Perbedaan juga tidak memilih, misal adanya hanya di tempat kerja kantor yang besar. Di warung soto atau warteg atau warung kopi bisa terjadi perbedaan. Syaratnya terjadi perbedaan hanya ada satu: ada 2 pihak atau lebih yang terlibat. Tidak peduli apakah relasi kerja bapak/ibu dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, pimpinan dan bawahan, semuanya dapat memunculkan perbedaan. 

Perbedaan bapak/ibu dan anak di tempat kerja bisa terjadi karena cara pandang yang berbeda antar generasi. Misal bapak/ibu ingin tokonya gini-gini saja sudah cukup, sementara si anak ingin mengembangkan lebih besar. Perbedaan lingkup kerja antara kakak dan adik bisa terjadi karena sang kakak sudah duluan memulai usaha, sementara si adik baru masuk dan harus cenderung menurut walaupun punya cara pandang yang berbeda. 

Buku Sigma Leadership hal 127: “Jadi tidak usah bentrokan jika itu bukan sebuah keharusan. Kalau kita masih bisa memilih untuk tidak bentrokan ya sudah, pilihlah untuk tidak ada bentrokan sama sekali.”

Sebenarnya perbedaan itu sah-sah saja. Karena setiap individu lahir berbeda. Yang jadi masalah adalah ketika perbedaan ini menjadi konflik. Bila perbedaan ini sebatas hal-hal yang tidak penting, maka bersikap mengalah akan lebih baik daripada memaksakan pendapat. Apalagi kita sudah kalah suara, karena suara terbanyak memilih hal lain yang tidak sesuai keinginan kita, maka sewajarnya kita mengalah.

Konflik terjadi ketika “hal-hal yang tidak penting” dipersepsikan menjadi “semua penting”. Artinya seseorang bisa “memilih” bahwa setiap perbedaan adalah konflik. 

Contoh: Seorang teman sudah berbaik hati membelikan makan siang. Tapi karena lauk yang dipesan sudah habis, maka yang dibeli lauk yang lain. Seseorang bisa memilih: OK saya sudah harus bersyukur dibelikan makanan (perbedaan ini nggak penting) atau saya tidak mau makan sama sekali karena tidak sesuai pesanan (perbedaan ini sangat penting). Hal pertama adalah perbedaan yang kedua adalah konflik, yang membelikan makanan kecewa, yang dibelikan makanan marah. 

Buku Sigma Leadership hal 126: “Untuk diri kita sewajarnya kita konsisten betul, setia betul terhadap kebenaran yang kita sadari itu, tetapi ketika kita bicara tentang orang lain tentang bagaimana orang lain itu hidup bersama kita, di situlah perlunya yang namanya fleksibilitas”

Konflik tentunya akan terjadi bila perbedaan yang terjadi memang benar-benar penting, bahkan konflik menjadi sebuah keharusan. 

Contoh: sebuah warung makanan mendapat pesanan dari kantor pemerintahan setempat, yang kebetulan pejabatnya sering makan siang di warung. Karena pesanannya banyak, maka untuk memenuhi permintaan tersebut pemilik warung (katakan suami dan istri) harus meminjam uang untuk keperluan belanja dan lainnya (bahasa kerennya working capital-modal kerja). Sang Suami semangat untuk memenuhi permintaan tersebut (tambah cuan kan) sementara Si Istri khawatir. Si Istri tahu bahwa si pejabat ini tidak jujur, jadi kalau menjadi rekanan di kantornya pasti akan meminta bagian. Belum lagi pembayaran di kantor tersebut butuh waktu lama yang mengakibatkan keperluan modal kerja yang lebih besar. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan meminjam uang. Bila tidak dibayar berbulan-bulan maka keuntungan akan tergerus dengan bunga yang harus dibayar setiap bulan keterlambatan.

Menyelesaikan konflik seperti ini menjadi keharusan. Kalau tidak segera diselesaikan, bisa-bisa Pak Suami harus tidur di luar kamar. 

Dalam salah satu artikel HBR (Harvard Business Review) ada sebuah model yang populer digunakan untuk menjelaskan strategi dalam menyelesaikan konflik yaitu The Thomas-Kilmann Conflict Model — dikembangkan oleh Dr. Kenneth W. Thomas and Dr. Ralph H. Kilmann. Thomas Kilmann model membagi strategi penyelesaian konflik dari Tingkat Ketegasan-Assertiveness (seberapa jauh keinginan diri tercapai) dan Sikap Kerjasama (Cooperative) atas pihak yang berkonflik (seberapa jauh kita ingin mengakomodasi keinginan pihak lain). 

Ada lima strategi dalam menyelesaikan konflik (lihat gambar di bawah).

  1. Menghindar (Avoiding). Strategi ini dipakai ketika sikap kerjasama rendah dan keinginan kita juga tidak pengin-pengin banget diikuti. Kira-kira teman kita yang kecewa dengan makan yang siang akan melakukan hal ini yaitu lain kali pesan makan sendiri saja (menghindar dari kemungkinan konflik ke depan)
  2. Bersaing (Competing). Ketika ketegasan tinggi (keinginan kita kuat) tapi tidak memerlukan kerjasama yang baik. Strategi ini jarang digunakan. Contoh yang sering dipakai adalah saat kecelakaan terjadi. Bila terjadi korban yang pingsan dan banyak orang malah sibuk bicara dan tidak melakukan tindakan. Seseorang akan mengambil tindakan tegas karena ini penting baginya menyelamatkan si korban dan nggak penting orang lain jadi tersinggung. 
  3. Mengakomodasi (Accommodating). Ini dilakukan ketika hubungan kerja penting (kerjasama tinggi) dan keinginan diri tidak tinggi. Misal Anda sedang berkonflik dengan atasan. Karena Anda juga tidak merasa penting mempertahankan pendapat Anda (kadang atasan lebih pengalaman), maka Anda mengakomodasi pendapat atasan.
  4. Kompromi (Compromising). Strategy ini dikenal dengan “lose-lose strategy” (strategi kalah-kalah). Penyelesaian konflik dilakukan ketika baik Anda atau pihak lain bersedia mengorbankan kepentingan masing-masing. Contoh ketika Anda dan teman Anda ditunjuk menjadi pimpinan proyek. Anda bisa mengalah jadi wakil di proyek A tapi jadi ketua di proyek B.
  5. Kolaborasi (Collaborating). Strategi ini adalah “win-win strategy” (strategi menang-menang). Tujuan bersama dan kerjasama yang baik sama-sama pentingnya. Misalnya seorang atasan punya anak buah dengan kinerja rendah. Dan menjadi konflik karena bawahan kesel kok dinilai rendah dan atasan juga kesel kok kinerja si bawahan rendah. Strategi kolaborasi adalah sikap membantu anak buah tersebut untuk bangkit dan menganggap sebagai bagian tim. Ketika kolaborasi berhasil, keduanya “win-win” si bawahan terbantu dapat meningkat kinerjanya, si atasan terbantu karena anggota timnya sudah menunjukkan kinerja tinggi. 

Sekali lagi, setiap strategi harus diterapkan tergantung situasi yang terkait. Bila salah diterapkan bisa jadi runyam. Sikap akomodasi bawahan ke atasan juga nggak bisa terus-terusan terjadi. Akan lebih baik si atasan membuka ruang untuk bisa diskusi sehingga bisa terjadi kolaborasi yang indah. 

Mungkin teman-teman bisa membantu Pak Suami di kasus warung diatas, strategi mana yang sebaiknya dipakai? Kasihan kan kalau harus tidur di sofa diluar kamar terus?