Skip to main content

Sebuah film di Netflix dengan judul “Downfall, The Case Against Boeing” menggambarkan bagaimana keserakahan eksekutif Boeing mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap kualitas kerja dan keselamatan pesawat yang diproduksinya. Dua kejadian kecelakaan, Lion Air di perairan Karawang dan Ethiopian Air, membuka aib yang selama ini ditutupi. Merger McDonald Douglas dan Boeing mengakibatkan budaya perusahaan dari “engineering company” (perusahaan yang berfokus pada teknik pembuatan pesawat) menjadi “wall street company” (fokus pada keuntungan). Boeing dulu terkenal dengan perusahaan yang memastikan pesawat yang dibuatnya aman, sehingga digemari dan dijual di seluruh dunia. 

Dengan kejadian 2 kecelakaan di atas, terungkap bahwa keselamatan pesawat yang dibuat bukan lagi hal prioritas. Boeing menerima kesepakatan untuk membayar $2.5 milyar kepada DOJ (Department of Justice) – Kejaksaan di AS untuk menangguhkan pemeriksaan pada tahun 2021. Sebagiannya akan dipakai untuk membayar kompensasi kepada keluarga korban. Majalah Forbes (8 Juni 2024) mengabarkan bahwa keluarga korban meminta Kejaksaan AS untuk mengadili eksekutif Boeing yang selama ini masih lolos. Kita lihat bagaimana nanti akhir dari cerita ini, apakah eksekutif Boeing bisa lolos dari jeratan hukum seperti halnya eksekutif bank-bank di AS pada tahun 2008 yang bertanggung-jawab atas kejatuhan bursa tapi tidak satu pun mendapat hukuman. Atau akan ada keadilan yang terjadi?

Kali ini saya ingin membahas berita di Wall Street Journal (Rabu, 12 Juni 2024). Boeing sampai saat ini masih kesulitan dalam mengontrol kualitas produknya. Kejadian pintu yang tiba-tiba terbuka di pesawat Alaska Airline seperti membuka kembali kasus lama. Dalam artikel tersebut, Elizabeth Lund, yang baru saja diangkat menjadi “Quality Chief of Boeing Commercial Airplane” mengatakan sejak kejadian Alaska Airline, Boeing sangat berhati-hati dalam menjaga kualitas kerja karyawannya. Rupanya sejak plandemik terjadi, Boeing telah mem-PHK banyak pekerja karena memang permintaan pesawat turun secara drastis untuk mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Setelah plandemik usai, mereka kesulitan untuk bisa merekrut tenaga kerja yang sudah berpengalaman bertahun-tahun bekerja di industri pesawat. Akhirnya mereka harus merekrut tenaga muda yang belum berpengalaman, yang berakibat salah satu hal kenapa Boeing masih bermasalah dengan kualitas produknya. Dengan kasus Alaska Airline ini, Boeing semakin berhati-hati dalam memberikan persetujuan tenaga muda setelah di-training untuk bisa terjun langsung ke ruang produksi. 

Yuk kita bandingkan dengan kasus Victorinox (diambil dari buku The Infinite Game, Simon Sinek). Victorinox terkenal dengan pisau “Swiss Army” yang pisaunya tidak hanya berisi pisau, tapi ada obeng, kikir, pembuka botol, dan lainnya dalam satu kesatuan yang praktis dibawa-bawa. Sekarang sudah jarang kita menemui orang punya pisau swiss army, dulu mempunyai pisau swiss army ini jadi kebanggan tersendiri. Sejak peristiwa 11 September 2001, terjadi pembatasan membawa benda-benda seperti pisau ke kabin pesawat. Akibatnya, Victorinox mengalami penurunan penjualan secara drastis. Eksekutif Victorinox tidak melakukan PHK sama sekali, walaupun angka penjualan semakin turun. Malah Eksekutifnya membuat inovasi baru dan melakukan investasi baru pada pengembangan produk dan mengajak karyawannya untuk mencari produk baru yang bisa dibuat menggunakan nama Victorinox yang sudah terkenal. 

Carl Elsener, CEO Victorinox, mengatakan bahwa pada saat jayanya, Victorinox telah mengumpulkan dana yang memang diperlukan dalam situasi seperti ini (bandingkan dengan Boeing yang membagikan keuntungan melalui dividen dan bonus eksekutifnya). Carl percaya bahwa business akan naik dan turun secara periodik. Pada saat business naik, Victorinox menyiapkan dirinya menghadapi situasi pada saat business turun. Apa yang terjadi? Victorinox menjadi perusahaan yang lebih kuat dibanding sebelum peristiwa 11 September. Dulunya pendapatan dari pisau Swiss Army adalah 95% dari total pendapatan, setelahnya hanya 35% dan diganti dengan pendapatan dari perlengkapan traveling, jam, dan parfum. Total pendapatan Victorinox naik hampir 2 kali lipat pendapatan sebelum peristiwa 11 September. 

Di sini kita melihat kontras bagaimana pemimpin bersikap terhadap timnya. Boeing melakukan PHK besar-besaran dan akhirnya kesulitan mendapatkan pekerja yang berpengalaman dan mengalami kesulitan produksi dan berimbas pada penjualan. Victorinox tidak melakukan PHK dan memberi ruang karyawan untuk berinovasi dengan produk-produk baru dan malah bisa meningkatkan penjualan hampir 2 kali lipat. 

Jadi kira-kira, kalau Anda diberi pilihan untuk bekerja, mau kerja di Boeing atau Victorinox? Atau, bila Anda punya uang, Anda memasukan uang Anda untuk berinvestasi di Boeing atau Victorinox?

 

Eko Nugroho
Leadership Coach dan Vice Chairman The Avalon Consulting
19 Juni 2024