Skip to main content

Menjadi pemimpin tentunya berbeda dengan ketika menjadi “anak buah”. Menjadi pemimpin cenderung akan melakukan pekerjaan-pekerjaan non-teknis dibanding saat belum menjadi pemimpin. Misalkan montir mobil yang baru saja diangkat menjadi supervisor (penyelia). Pekerjaan yang dulunya langsung berhubungan dengan mobil (teknis), sekarang harus lewat mantan teman atau anak buahnya. Kalau dulu tugasnya memastikan mesin mobil bisa berfungsi normal, sekarang memastikan anak buah tetap semangat dalam bekerja, motivasi bagi yang lagi “quiet quitting” atau membuat laporan (administrasi). Sebuah pekerjaan yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Yang tentunya perlu keterampilan dan seni untuk bisa melakukan dengan baik.

Sebuah survey yang dilakukan oleh SHRM (Society of Human Resources Management) pada tahun 2024, menyimpulkan bahwa 40% responden mengalami penurunan kesehatan mental saat menempati posisi manajer atau pimpinan.  Jenny Blake (WSJ 28 Juli 2024) mengatakan bahwa kesehatan mentalnya turun drastis ketika menerima promosi menjadi “team leader” di Google pada usia 24 tahun. Blake merasa stres dan emosinya terkuras, ketika harus bertanggung jawab atas timnya, sementara di sisi lain mendapat tekanan dari atasan untuk melakukan reorganisasi. Dengan kata lain Blake mengalami posisi seperti “sandwich” (ditekan dari atas dan merasa bersalah dengan bawahan). Akhirnya Blake memilih keluar dan bekerja independen yang tidak ada atasan dan bawahan. 

Apa yang dialami Blake pernah juga saya alami, menjadi manajer/pemimpin anyaran memang tantangan tersendiri. Saat saya memulai karir sebagai akuntan, pekerjaan saya relatif teknis seperti rekonsiliasi bank, pembayaran supplier, tutup buku, dan lain-lain. Pada saat promosi dan punya anak buah, kemudian jadi gamang, saya mesti ngapain ya? Untungnya pengalaman berorganisasi saya ketika mahasiswa sangat membantu, baik menjadi ketua Permias (persatuan mahasiswa Indonesia di AS) di kota saya bersekolah maupun menjadi wakil ketua senat saat kuliah di Indonesia, ternyata ada gunanya. Termasuk ketika harus menghadapi teman kerja yang kemudian jadi anak buah karena saya dipromosi. 

Menjadi pemimpin/manajer anyaran berarti harus berani memimpin rapat dengan baik, dulu belum ada WAG jadi semua mesti offline. Menyampaikan tidak semata-mata instruksi tapi menjelaskan kenapa penting dikerjakan. Mulai ngobrol tentang hal-hal pribadi dengan anak buah untuk lebih “bonding”. Menjadi penengah ketika terjadi konflik, berani bertanggung jawab kepada atasan ketika ada anak buah yang salah. Memuji anggota tim yang berprestasi dan menegur yang malas. Tentunya berterima kasih kepada tim ketika tugas bisa diselesaikan bersama dengan baik. 

Hal-hal di atas kelihatan remeh, tapi percayalah tidak mudah bagi yang “anyaran”. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kepemimpinan adalah tacit knowledge yang hanya bisa dikuasai dengan baik melalui pengalaman. Tidak bisa membaca artikel ini atau membaca buku yang terkenal “peer today, boss tomorrow” langsung bisa menjadi pemimpin yang baik, namun perlu ujian praktek untuk menguasainya. Modalnya adalah Niat/Nilai, Komitmen, Membuka wawasan, dan Berani keluar dari zona nyaman.

 

Sumber foto: https://www.linkedin.com/pulse/so-youre-new-manager-bryan-yager/