Tanpa meditasi akan menguras emosi, dengan meditasi risiko terkuras secara emosi bahkan fisik bisa dikurangi.
Tahun 2015 kurang lebih satu tahun sebelum ujian kompetensi profesi, menjadi momen yang membekas bagi saya sebagai contoh kejadian yang menguras emosi sampai berbulan-bulan. Baru saat ini saya tahu bahwa kondisi itu adalah salah satu contoh akibat ketidakmampuan saya memimpin diri sendiri. Stres berbulan bulan karena berhadapan dengan risiko saya tidak bisa mendaftar ujian kompetensi di periode terdekat sehingga ada kemungkinan mundur 6 bulan akibat keputusan saya yang menunda ujian di salah satu bagian ilmu di Rumah Sakit pendidikan.
Akhirnya selama kurang lebih 4 bulan saya berada dalam kondisi cemas setelah ‘gambling’ memutuskan untuk daftar saja dulu bimbingan belajar periode terdekat sambil menyelesaikan ujian di Rumah Sakit, kalau selesainya tepat waktu ya syukur kalau tidak ya risiko terburuknya saya mundur ujian kompetensi dan mundur kelulusan. Berbulan bulan memikirkan kemungkinan terburuk tentu diikuti dampak emosi yang betul-betul membuat hidup tidak nyaman. Pelarian saya saat itu adalah olahraga bersepeda dan jogging, anehnya dalam periode waktu rajin berolahraga itu saya malah mengalami gangguan irama jantung yang pada diri saya berbentuk denyut jantung yang tidak teratur selama beberapa bulan dengan gejalanya jika sedang memuncak itu saya bisa migrain berhari-hari.
Singkatnya risiko terburuk tidak terjadi, saya bisa ujian dan lulus sesuai target, gangguan irama jantung sembuh. Kemudian tahun 2018-2020 pola ini berulang, ketika saya memendam stres dalam waktu yang lama gangguan irama jantung ini muncul lagi. Tahun 2021-2025 gangguan irama jantung ini tidak pernah muncul lagi. Dari pengalaman inilah saya bisa menyimpulkan bahwa pada diri saya, jika tumpukan emosi merusak dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang lama akan berdampak merusak juga pada fisik saya.
Sebelum mengenal Sigma Leadership, tepatnya sebelum mengikuti program Avalon Leadership Online Course (ALOC), istilah “memimpin diri sendiri” ini sangat asing bagi saya. Tidak pernah terpikirkan kalau kata kepemimpinan dihubungkan dengan diri sendiri, karena di dalam pikiran saya sudah ada konsep bahwa kepemimpinan adalah soal bagaimana mengatur orang lain. Lalu istilah memimpin diri sendiri sedikit demi sedikit bisa saya pahami setelah beberapa momen dijadikan praktik self-awareness mengobservasi pola hidup saya. Ternyata banyak hal yang bisa menjadi kacau ketika saya tidak mampu memimpin diri sendiri, akibat saya tidak mampu mengelola pikiran apa yang seharusnya saya pikirkan, emosi apa yang seharusnya saya alami ketika menjalankan peran dan kegiatan.
Contoh kasus soal manajemen waktu, yang kemudian memicu niat untuk memperbaiki manajemen waktu diri sendiri mulai dari hal-hal kecil adalah setelah dua kali saya mengalami hampir ketinggalan pesawat. Cukup kapok mengingat konsekuensi dari ketinggalan pesawat ini adalah kerugian uang, maka saya tidak mau terulang lagi. Lalu setelah saya renungkan lebih mendalam, efek dari hampir ketinggalan pesawat ini juga ada bentuk kerugian lainnya yaitu ketidaknyamanan secara emosi dan fisik. Khawatir, menyesal, stress, berdebar, kaki lemas itu adalah kerugian buat mental dan fisik saya. Berbekal ini saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi. Ada peran praktik hening/mindfulness/self awareness yang membantu saya mengenali pola perilaku juga menyadari gejolak pikiran dan emosi yang membawa derita. Lalu berbekal data ini saya ada motivasi untuk tidak mau mengulangi hal serupa, yang merisikokan keselamatan mental dan fisik saya.
Dalam hal pekerjaan profesi sebagai seorang dokter, saya yang punya bakat baper dan mudah tersinggung ini, tidak terbayang bisa melihat kesalahan saya secara objektif , di tengah hebohnya gejolak emosi dan sensasi fisik yang muncul setelah menerima chat teguran yang ketus dari senior di tempat kerja. Takut, khawatir, malu, kesal, berdebar, kaki lemas, campur aduk rasanya. Belakangan saya sadar bahwa semua gejolak itu akibat peran sisi gelap kesombongan. Saya punya proyeksi sendiri pada citra diri saya: dokter, warga Persaudaraan Matahari (PM), pengurus Pusaka Indonesia (PI), warga Sagrada Center (SC) pula lalu semua citra yang menurut saya indah ini berbenturan dengan chat teguran ketus dari senior yang mengatakan cara kerja saya oon, pedihnya nyata sampai kaki lemas. Tapi ditengah gejolak itu saya bersyukur dengan munculnya reflek berupa pola pikir bahwa poin utama dari komunikasi chat saya dengan senior ini adalah saya harus bisa menemukan kesalahan saya dulu. Terbantu dengan curi-curi momen untuk menutup mata dan merasakan nafas saat membaca chat yang ketus.
Akhirnya saya bisa menemukan kesalahan saya yang nyata, telak, tidak bisa dibela. Usaha yang cukup aneh untuk saya lakukan, mengingat pola lama respon saya kalau bertemu kasus serupa ditegur dengan ketus seperti ini pasti saya ngeyel duluan, kesal dan menyalahkan yang menegur saya kenapa kasar seperti itu dan bisa sampai menyimpan dendam. Dengan meditasi, durasi drama emosinya jadi lebih pendek. Setelah kejadian ini saya jadi sadar dengan keberadaan sigel kesombongan halus yang berwujud citra diri yang indah ini. Memang kenapa kalau saya dokter, warga PM, warga SC, kalau salah ya salah dan layak ditegur. Apalagi kalau kesalahan yang terjadi adalah di luar arena komunitas, yang tidak mengenal meditasi dan pemurnian jiwa, saya harus bersiap dengan kemungkinan terburuk bahwa mereka yang menegur, caranya akan sesuai dengan level kesadaran dan kondisi emosinya yang kemungkinan besar berlandaskan sisi gelap. Bersyukur banyak pola lama respon saya ketika menghadapi kesalahan bisa bertransformasi saat mau meditasi.
Aplikasi hening dalam menghadapi komentar pedas teman kerja, kalau Unit Gawat Darurat (UGD) tempat saya bertugas sedang penuh, kami petugas kan bisa stres juga, sehingga memicu beberapa orang bawaannya senggol bacok dan sering diekspresikan dengan komentar-komentar yang pedas. Ekspresinya bermacam-macam mulai dari cemberut, atau bicara ketus. Sejauh ini yang sering terekam jadi pengalaman saya, untuk mengurangi dampak emosi yang merusak akibat interaksi di tempat kerja adalah sebatas saya tidak reaktif membalas misalkan dengan balik ketus atau marah. Baper masih ada terutama jika sedang capek, burnout dan lapar tapi tidak lama dan berlarut larut, selalu bisa membalikkan kondisi tenang lagi sepulang kerja. Meditasi membuat saya lebih bersiap/waspada dengan kemungkinan terburuk benturan emosi ini dengan curi-curi momen merasakan napas.
Aplikasi hening menghadapi/antisipasi beban kerja yang tidak terduga. Pekerjaan shift di UGD beban kerjanya tidak bisa ditebak kadang santai kadang tenang. Di tempat kerja saya, kadang kalau shift malam itu dokter jaga bisa harus menangani semua unit jika ada pasien kegawatan. Yang pernah saya lakukan misal saat di UGD sedang ramai lalu ada panggilan kegawatan juga dari unit lain, momen seperti ini rawan kewalahan, tapi pernah ada momen saat saya jalan di lorong satu unit ke unit lain itu saya pakai untuk momen hening informal, antara reflek dan terpaksa pasrah karena tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk menenangkan pikiran dan emosi, meditasi formal juga tidak memungkinkan. Pernah walau belum banyak pengalaman bisa berhasil tenang setelah usaha hening informal saat berjalan.
Hal lain yang dulu saya anggap remeh yaitu makan pagi dulu sebelum sibuk bekerja baru bisa konsisten saya lakukan 10 bulan terakhir, ternyata ini hasil dari self-awareness juga karena sudah banyak pengalaman mengobservasi diri kalau lapar saya jadi kacau jiwa raga. Sekarang setiba di tempat kerja, karena saya belum biasa makan di rumah, saya sempatkan dulu makan paginya. Dulu sih terabas memilih menyelesaikan pekerjaan dulu atau karena larut dalam stres, badan jadi diabaikan, makan bisa sampai kesiangan, tambah rusak jiwa raga.
dr. Gede Vernanda Satria Dita
Dokter, peserta program Avalon Leadership Onlince Course (ALOC)
8 Agustus 2025