Kecerdasan Emosi adalah kategori kecerdasan yang dieksplorasi secara sains oleh seorang psikolog pada tahun 1990, yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta orang lain ini. Menurut para ahli, kecerdasan ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan kecerdasan rasional atau Kecerdasan Intelektual (IQ). Kecerdasan rasional cukup populer dan dijadikan tolok ukur dalam lingkup pendidikan akademik yang menggambarkan kemampuan kognitif seperti penalaran logis, belajar, dan memecahkan masalah.
Dalam sebuah buku yang mempopulerkan Kecerdasan Emosi, dikatakan bahwa faktor keberhasilan atau kesuksesan seseorang merupakan 80% kontribusi Kecerdasan Emosi. Kategori kecerdasan yang dijabarkan sebagai variabel sosial dan berasal dari fungsi otak kanan. Hasil riset para ahli yang menjelaskan tentang pentingnya kesetimbangan dan harmoni antara rasional dan emosi yang berdampak kepada peningkatan kualitas kehidupan manusia.
Menurut filosofi kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma Leadership, Kecerdasan Emosi berhubungan erat dengan kualitas berpikir dan kualitas kesadaran. Kecerdasan Emosi (EQ) adalah tentang self-awareness dan social awareness, bukan tentang sepandai apa menghafal dan merekam data sehingga bisa mengucapkan kembali. Kecerdasan Emosi adalah tentang akuntabilitas dan tanggung jawab, bukan tentang keahlian dalam mengemukakan alasan yang spasial dan tidak konsisten dalam logika. Kecerdasan Emosi adalah tentang self management yang meliputi seluruh aspek baik teknis, sosial dan matematis, tetapi bukan tentang rumusan roket yang njelimet mumed.
Kemampuan analitis yang tinggi tidak akan menjadi harmoni dalam kesetimbangan, tanpa empati dan kedewasaan emosi. Kemampuan memimpin akan timpang dan tidak berintegritas, tanpa kesetimbangan berpikir kritis strategis dan pengendalian diri (self regulation). Kekuasaan tidak akan menjadi harmoni dan berdampak positif secara holistik apabila tidak disertai kemampuan pengendalian diri secara utuh (self mastery) dan apalagi tanpa kejernihan kesadaran.
Banyak contoh yang saya temukan selama magang menjadi pemimpin mengaplikasi metode kepemimpinan berbasis kesadaran. Menemukan banyak bukti konkret bahwa kemampuan akademik yang tinggi tanpa diimbangi dengan Kecerdasan Emosi dan kesadaran yang jernih, hanya akan menjadi ajang adu kekuatan dan kesombongan, serta minim integritas. Maka dari itu perlu menyetarakan Misi, Visi dan value dengan landasan yang jernih, agar tidak menjadi sumber ketimpangan dan berdampak signifikan terhadap kualitas kinerja yang diinginkan.
Contoh yang banyak ditemukan antara lain ketika ada pihak yang sepakat untuk berjuang mengusung tujuan luhur bersama, tapi ternyata tidak bergerak berlandaskan value dan tidak pernah membawa visi misi besar yang telah disepakati. Ada juga yang menyatakan mau berkolaborasi mencapai tujuan yang luhur, tapi kemudian berbelok karena hanya membutuhkan tambahan dukungan yang dianggap berpotensi memberi manfaat ekonomi. Ada pemimpin yang tampak hebat dan berbakat ditambah dengan berbagai koleksi pendidikan formal dan pengalaman yang memadai, tapi tidak mampu berkomunikasi dengan efektif kepada audience yang tidak satu level. Ada juga contoh berupa kriteria pemimpin dengan kekuatan fisik yang tinggi, bahkan pernah hidup di belantara peperangan, tapi kemudian tidak mampu mencari moda transportasi di tengah ibukota.
Ada juga yang punya banyak ide dan gagasan yang mencengangkan, tapi tidak mampu mengeksekusi dalam langkah sederhana yang mudah diaplikasi. Ada juga yang ingin membuat sistem, tetapi tidak pernah mematuhi sistem yang sudah dibangun. Ada yang mengaku satu misi dan visi tapi tidak menghargai hierarki organisasi. Dan masih banyak lagi contoh konkret di keseharian yang membuktikan hasil riset para ahli seputar pentingnya Kecerdasan Emosi.
Wawasan setiap individu memang sebatas tingkat evolusi kesadarannya masing-masing. Bagi yang mampu menilai sebatas besaran materialistik tentu akan kesulitan menghayati sebuah karya yang sederhana namun mengandung kedalaman makna yang esensial. Sehingga sebuah karya yang agung, seringkali hanya dinalar sebatas cakrawala pandangnya masing-masing. Padahal banyak karya yang agung lahir dari individu tanpa latar belakang pendidikan setinggi langit, tanpa keturunan priyayi, tanpa punya koneksi dengan orang penting maupun selebriti, tanpa status ekonomi terpandang, tanpa jabatan dan titel panjang.
Seorang pemimpin dengan pengalaman kepemimpinan tingkat tinggi, dengan kecerdasan akademik tinggi dan mampu mengingat banyak teori, ternyata tidak menjamin memiliki Kecerdasan Emosi (EQ). Sehingga sering terjebak dalam situasi yang minim empati karena tidak mau berendah hati untuk memahami situasi lawan bicara. Mempertahankan pola nalar rasionalitasnya dengan menempatkan lawan bicara memiliki kemampuan yang sama persis dengan dirinya. Tidak mampu berkomunikasi dengan efektif, dan tidak mampu mendengarkan dengan aktif (active listening) sehingga tidak memiliki self-awareness terhadap konteks pembicaraan yang seharusnya memperhatikan demografi audiencenya. Pemimpin yang hanya mengandalkan kecerdasan rasionalnya, cenderung membangun mental block bagi para audiencenya, karena malah mewariskan konten yang sebenarnya membatasi potensi dan menghambat kemajuan seseorang untuk mencapai tujuannya.
Penalaran yang abstrak dalam pikiran, tidak akan menjadi ketajaman berpikir apabila tidak diimbangi dengan kualitas berpikir yang jernih. Pikiran dan rasionalitas merupakan proses dan produk penting, tapi yang terpenting adalah kualitas dari pikiran dan kesadaran itu sendiri. Seberapa jernih kualitas berpikir dan seberapa bersih kualitas kesadaran seseorang, sehingga dapat menghasilkan produk pikiran bebas bias, dan memberikan dampak yang konstruktif. Kecerdasan emosi tidak tergantung dari besar kecilnya kecerdasan intelektual, tetapi tergantung dari kualitas kejernihan pikiran mental, emosi dan kesadaran.
Dalam Sigma Leadership berbagai komponen pembentuk EQ di bawah ini bisa dikembangkan agar mencapai kualitas terbaiknya. Semakin jernih dan bebas bias dari pengaruh bawah sadar, maka akan memberikan pengaruh yang konstruktif dalam kemampuan memimpin, dalam menentukan keputusan dan problem solving. Dan yang paling utama adalah berdampak bagi kesejahteraan yang holistik.
- Meaningful purpose.
Punya tujuan yang jelas (Clarity of purpose) berupa tujuan yang terbaik dan penuh makna. Yaitu tujuan yang melampaui kepentingan pribadi, sebagai landasan motivasi dan arah kompas yang paling jernih, - Self Awareness dan Active listening.
Tentang kemampuan mendengarkan dengan kesadaran. Meningkatkan self awareness, emotional awareness, dan social awareness, memahami apa yang terjadi pada diri dan apa dampaknya terhadap diri serta orang lain. Termasuk mengenal bagaimana reaksi diri dan dampaknya kepada orang lain. - Membangun Kesadaran dengan praktik Mindfulness.
Kemampuan untuk sadar akan gerak pikir milik diri sendiri, tidak hidup di masa lalu maupun di masa depan. Present moment, melakukan tindakan atau perbuatan dengan intensi dan pertimbangan yang matang. Work to be present, bekerja dengan kesadaran penuh, hadir dan bukan sekadar secara fisik, melainkan juga hadir secara mental dan emosional selama melakukan pekerjaan. - Komunikasi efektif dan diplomasi.
Kemampuan berkomunikasi dengan transparan, autentik, tidak sungkan bertanya pada pihak yang tepat untuk menghilangkan asumsi. Mau mendengarkan tidak hanya mau didengarkan. Mau mendengarkan bukan untuk mengalihkan. Menghargai perspektif yang beragam dan berendah hati untuk menemukan kesepadanan (common ground) yang akan membangun penalaran yang jelas dan bersih serta membangun kepercayaan. Mampu memberikan feedback yang konstruktif dan sepadan dengan tujuan agung, misi visi dan value, tidak terselip oleh bias, emosi dan distorsi bawah sadar maupun kepentingan pribadi. - Self Management.
Kemampuan pengendalian diri (self mastery), pengendalian emosi (self-regulation), pengelolaan pikiran dan kesadaran (mind management). Situasi selalu bergerak dan berkembang, begitu pula dengan kecerdasan, sehingga perlu menjaga konsistensi dan kestabilan kejernihan kecerdasan. - Empathy dan Sociability.
Memahami situasi sebelum mengemukakan sebuah pendapat dan ingin dipahami. Mampu mengenali berbagai macam pola, kecenderungan dan fleksibilitas dari setiap situasi. Memahami kemampuan dan kapasitas yang berbeda serta potensi terbaik dari setiap individu. Berperan terhadap kesejahteraan individu misalnya mampu mengatur keseimbangan beban kerja dan menciptakan ruang bagi pemberdayaan. - Conflict resolution.
Kemampuan untuk menghayati sebuah situasi sulit dengan menempatkan fokus yang tepat. Bagaimana menempatkan fokus pada solusi perbaikan dan fokus pada tujuan yang luhur. Menguasai manajemen konflik dan manajemen perubahan untuk meminimalkan dampak destruktif dari gerak perubahan. Mampu mengenal kapasitas serta batasan, sehingga dapat menciptakan ruang kerja yang fleksibel dengan berbagai model gaya kerja, namun tetap sepadan dengan value misi dan visi yang luhur. - Adaptability.
Kemampuan beradaptasi dan menyesuaikan diri ketika situasi berubah. Menjaga fleksibilitas dengan cara yang autentik. Tidak mempertahankan idealisme yang malah menghambat fleksibilitas dan menimbulkan resistensi yang mempersulit proses beradaptasi. - Inisiatif yang jernih.
Menjadi self starter yang fokus pada tujuan agung, tidak hanya mengikuti arus orang banyak. Menemukan motivasi dengan landasan value dan arah kompas yang tepat, bukan hanya mengikuti orang kebanyakan. - Gratitude Traits.
Memiliki sikap bersyukur, sikap menghargai setiap situasi, mampu melihat gelas setengah isi. Mampu menghargai kebersahajaan dan keberagaman, serta memiliki growth mindset atau pola pikir yang bertumbuh. Kemampuan untuk menghargai setiap pencapaian, baik yang sederhana, berupa kerja keras, maupun berupa kisah kegagalan.
“Move with clear consciousness, wisdom comes from clarity not emotions” ~ Sigma Leadership.
Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
29 Oktober 2025









