Pertanyaan tersebut terpantik dari pengalaman saya terlibat dalam lembaga yang dipimpin oleh Setyo Hajar Dewantoro, atau yang biasa disapa Mas Guru SHD. Beliau adalah pendiri dan Guru Besar Persaudaraan Matahari , sekolah pembelajaran spiritual murni, yang juga mendirikan organisasi non-profit Perkumpulan Pusaka Indonesia, dan juga beberapa lembaga bisnis salah satunya The Avalon Consulting. Sebagai guru spiritual, beliau memiliki kharisma besar yang sangat berpengaruh terutama untuk para muridnya.
Dari satu sisi model kepemimpinan seperti ini menurut benak saya pasti akan mudah karena dipastikan mempunyai anggota yang loyal bahkan militan, ibarat saat Mas Guru SHD bertanya “ Are U okay?” pasti dijawab “Absolutely, I’m Fine!!! Meski kaki sedang menginjak paku.
Seiring berjalannya waktu terutama saat struktur organisasi semakin kompleks ternyata model kepemimpinan seperti ini mempunyai beberapa sisi jebakan batman dari sisi anggotanya sendiri. Dalam pengalaman saya sebagai Ketua Wilayah Yogyakarta Pusaka Indonesia, beberapa hal menjadi bahan refleksi bagi diri saya:
- Jika Mas Guru SHD mengarahkan seseorang untuk melakukan tugas, maka aturan hierarki organisasi pasti ditabrak oleh sang penerima pengarahan. Memegang erat bahwa itu sabda yang mempunyai tataran tertinggi dari semua aturan hierarki organisasi yang telah disepakati bersama. Padahal pada akhirnya, eksekutornya adalah rekan-rekan pengurus dan kader yang ada di lapangan.
- Kecenderungan pencitraan sekaligus kesombongan bagi yang merasa memiliki kedekatan dengan Mas Guru SHD, dan merasa tahu isu-isu krusial terlebih dahulu. Merasa lebih paham ajaran Mas Guru SHD, merasa lebih berkontribusi, merasa punya banyak pengalaman berrelasi dengan Mas Guru SHD, hingga merasa tidak perlu menghormati rekan-rekan yang dipastikan kesadarannya jauh di bawah dari Mas Guru SHD. Merasa bangga memegang kedekatan sebagai “tongkat sakti” untuk melegalkan satu kegiatan yang dimandatkan kepadanya menjadi lebih penting daripada kegiatan yang lain. Sehingga dari pengalaman saya, orang semacam ini justru susah berendah hati untuk berkoordinasi, bahkan sampai ke komunikasi paling receh sekalipun. Memang nyatanya apabila dikatakan bahwa ‘ini pesan dari Mas Guru SHD’ maka lebih mudah menggerakkan teman- teman.
- Banyak fungsi organisasi yang tidak berjalan optimal hanya karena bekerja berdasarkan kekaguman dan kharisma sang pemimpin, sekaligus rasa takut terpental. Saya pernah berada pada fase seperti ini dimana setiap langkah menjadi beban karena takut salah, perlu banyak topeng, dan takut kehilangan manfaat. Sehingga dalam berproses menjadi tidak fokus pada langkah-langkah kecil atau detail yang perlu diambil sebagai bagian dari visi dan misi yang lebih besar.
Dalam hal ini akhirnya saya merasakan bahwa tidak mudah mempunyai pemimpin yang berawal dari Guru Spiritual yang berkharisma, yang kemudian masuk ke dalam suatu organisasi dalam berkarya dimana anggotanya juga merupakan murid spiritual. Tidak mudah pula menjadi pengurus yang kharismanya dan kesadarannya dianggap terlalu jauh dibawah Mas Guru SHD, sudah bisa dipastikan akan berhadapan dengan banyak drama kengeyelan, kesombongan dan pengabaian pada kesepakatan bersama.
Ternyata kharisma seorang pemimpin, dapat menjadi pedang bermata dua bagi kami para rakyat jelata dengan multi tafsir pikiran kami yang masih sangat terbatas ini.
Probodjatie
Ketua Wilayah Yogyakarta Pusaka Indonesia