Skip to main content

Jaman dulu sebelum mengenal hidup berkesadaran, pertanyaan seperti ini tidak pernah terbayangkan menjadi relevan bagi hidup, karena saya adalah pecinta zona nyaman. Tolok ukur maju atau mundur hanya sebatas bertambahnya angka dalam nota slip gaji, atau naik turunnya nominal bonus tahunan yang bisa dicapai. Harap maklum, tujuan bekerja hanya sebatas mendapatkan hak gaji yang bisa memenuhi daftar panjang agenda pribadi saja. Tidak pernah terpikirkan bagaimana kualitas pola berpikir, yang sebenarnya banyak sekali mental block akibat senang cari aman dan nyaman. Sehingga selama hidup tidak terlalu peduli dengan kualitas karakter dan kualitas kesehatan, terutama kualitas kesehatan fungsi otak yang turut menurun, memudarkan banyak potensi, kecerdasan dan keterampilan.

Saat ini, ketika sudah menjalankan hidup dengan kualitas kesadaran yang lebih jernih, saya jadi memahami pentingnya aspek pengembangan manusia yang selama ini tidak tampak. Saking selalu merasa baik-baik saja, dan merasa tidak punya masalah dalam diri yang perlu dibongkar dan diperbaiki. Padahal saya sangat terilusi dengan kecukupan ekonomi yang menjerumuskan pada palung mental block yang cukup dalam. Tetapi setelah menjadi praktisi  filosofi kepemimpinan berbasis kesadaran Sigma, saya jadi mengerti apa peran kualitas kesadaran bagi seluruh elemen kehidupan manusia. Kejernihan seluruh lapisan kesadaran akan meningkatkan kualitas seluruh elemen dalam kehidupan manusia, seperti pola pikir, karakter, personality, sikap, mental model, perilaku, dan semua tindakan, usaha dan karya yang dihasilkan.

Upaya dalam  pengembangan manusia (human development), ternyata merupakan isu krusial yang selama berabad-abad dicarikan solusinya oleh para ahli. Berbagai riset, teori dan metode dirumuskan, untuk mencetak hasil yang terbaik dalam arena pengembangan manusia. Begitu pula dengan Sigma Leadership yang menekankan kualitas kejernihan kesadaran dalam meningkatkan kualitas karakter sampai kepada titik optimal yang memberikan manfaat holistik, karena awet, berjangka panjang serta minim risiko di masa depan. 

Penghalang kemajuan tidak lain bersumber dari sabotase invisible force bawah sadar, yang sering disebut sebagai sisi gelap diri atau shadows/ darkside. Kekuatan yang tidak terlihat ini termanifestasi menjadi ribuan gerak nalar, pola berpikir, mental model, sikap, perilaku, karakter, tindakan, pengambilan keputusan, pencarian solusi, memutuskan pilihan, dan membiaskan pemahaman yang seharusnya bisa jernih tanpa distorsi, seperti:

  1. Perfeksionis (Lack of confidence).
    Ketakutan akan kesalahan dan kegagalan, kesulitan menerima umpan balik yang tidak sesuai harapan, kelelahan akibat berambisi menjadi sempurna, dan terobsesi terhadap kontrol, mudah stress, prokrastinasi, menghindar dari situasi yang tidak sesuai harapan, memaksakan orang lain memenuhi ekspektasi idealisme untuk sempurna, semangat mudah melempem kalau ada sedikit gangguan dan tantangan, tidak resilien dan tidak adaptif terhadap perubahan karena bersikeras semua harus sesuai rencana yang dianggap paling sempurna, kehilangan motivasi, mudah kecewa, terlalu banyak menganalisa, blank atau analysis paralysis, menjadi mager, lebih memilih menghindar atau kabur ketika muncul tantangan, menjadi manipulatif demi menjaga citra baik dan pengakuan pihak luar (external validation).
  2. Tidak mengerti apa tujuan yang paling jernih (lack of clarity).
    Mempertahankan tujuan yang tidak tepat, berimbas kepada kebingungan ketika harus mengambil keputusan dan menghambat langkah maju, stuck, mengalami stagnasi dan bahkan mengalami kemunduran. Kemajuan yang progresif dan konstruktif membutuhkan arah kompas berupa tujuan yang terbaik dan paling jernih.
  3. Tidak sabaran (lack of patience).
    Tidak menikmati proses, ingin instan, ambisi dan obsesi untuk mendapatkan hasil yang cepat, mudah kecewa dan melempem, mudah kehilangan motivasi. Pertumbuhan yang bermakna membutuhkan kerja keras dan konsistensi dalam waktu yang panjang
  4. Takut salah, takut gagal (lack of resiliency)
    Terlalu banyak kekhawatiran dan ketakutan akan membuat malas untuk melangkah maju. Takut mencoba hal baru, takut keluar dari zona nyaman, takut akan penilaian yang tidak sesuai harapan, takut menghadapi tantangan dan resiko, dan sebagainya. Ketakutan merupakan pertanda tidak menjalankan hidup dengan mindful, tidak menikmati momen. Kebutuhan untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain serta mendapatkan citra baik, akan sulit menerima bahwa umpan balik yang konstruktif. Dan sulit menerima bahwa kegagalan atau kesalahan merupakan sarana belajar dan perbaikan yang terbaik.
  5. Overthinking (Lack of adaptability).
    Terlalu banyak menganalisa yang tidak konstruktif dapat menyebabkan analysis paralysis, micromanaging yang tidak terkelola, mudah stress, burnout, anxiety, dan seterusnya. Menjadi tidak adaptif dan tidak tangguh karena belum apa-apa sudah menghalangi langkah dengan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Harus mau mencoba gerak spontan dan mengalahkan ketakutan dengan memilih untuk berani melangkah keluar dari zona nyaman. Buang dulu harapan akan pengakuan dari orang lain sesuai dengan harapan. Overthinking selalu menghancurkan momentum atau moment of truth yang seringkali hadir tanpa bisa diprediksi.
  6. Motivasi yang rendah (Lack of ownership).
    Membutuhkan kemauan yang kuat dan kesadaran yang tepat untuk memperbaiki dan menjaga kestabilan motivasi. Tujuan yang cetek akan mengakibatkan daya atau energi yang rendah, mudah melempem, burnout, dan fatgque. Bahan bakar yang tidak tepat pun malah akan mendegradasi kualitas proses dan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan baik mental maupun fisik. Maka dari itu, sangat penting untuk mengelola dan menjaga kestabilan stamina serta motivasi melalui praktik mindfulness . Memastikan tujuan dan arah kompas yang jernih dengan ruang kesadaran yang tepat, sehingga mampu menjaga kesetimbangan dan harmoni, agar tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
  7. Alergi dengan kisah kegagalan (Lack of positivity).
    Tidak memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset ) sehingga lebih senang menyembunyikan kesalahan dan kegagalan. Kesulitan untuk belajar dari kegagalan dan kesalahan, tidak mau menata mindset agar fokus kepada solusi perbaikan yang konstruktif dan kehilangan arah kompas tujuan yang jernih.
  8. Tidak memiliki kecerdasan emosi (Lack of Emotional Quotient).
    Kecerdasan emosi dibentuk melalui banyak variabel yang melibatkan praktik mindfulness dan kejernihan kesadaran. Kemajuan bisa saja dihasilkan tanpa kesadaran yang jernih, pencapaian target yang terbaik dapat dicapai dengan bahan bakar yang sebenarnya merusak kesehatan mental dan fisik, dengan dampak yang baru akan terasa di masa depan. Kecerdasan intelektual yang tidak diimbangi dengan kecerdasan emosi maka hanya akan menjadi kesombongan tanpa makna yang akan mendegradasi kesehatan mental maupun fisik di masa depan.

Jebakan zona nyaman sebenarnya merupakan awal mula terciptanya stagnasi. Dan apabila cukup mindful untuk mendeteksi diri, stagnasi ternyata merupakan kemunduran atau penurunan kualitas yang belum disadari. Semakin larut dalam stagnasi, maka akan menghilangkan keberanian untuk melangkah keluar dari zona yang dianggap memberikan kenyamanan. Jadi memang terbukti bahwa pertumbuhan dan kemajuan, hanya akan terjadi di luar zona nyaman.

 

“Great leaders are defined by the presence of continuous self growth and consciousness” ~Sigma Leadership

 

Keisari Pieta
Chief Mentor The Avalon Consulting
30 September 2025