Skip to main content

Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan pengunduran diri Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN (Ibu Kota Nusantara). Banyak spekulasi yang beredar tentang pengunduran diri ini. Ada yang pro dan ada juga yang kontra dengan keputusan ini. 

Dalam bahasa Inggris perlu dibedakan antara Quite dengan Quiet. Yang pertama artinya “lumayan” (quite good – lumayan bagus) dan berikutnya artinya adalah “diam”. Jadi Quiet Quitting ini terjemahan kata perkatanya adalah “berhenti diam-diam”. Tapi kayaknya nggak cocok dengan arti sebenarnya. Di bawah ini adalah arti Quiet Quitting menurut Investopedia:

“Quite Quiting“. Istilah ini merujuk pada karyawan yang melakukan pekerjaan dengan standard minimum dan tidak melakukan upaya tambahan berupa waktu kerja, upaya, atau semangat kecuali yang memang yang wajib dilakukan. Pekerja seperti ini tidak keluar dari pekerjaannya dan tetap menerima gajinya.

Jadi mirip dengan pembahasan kita sebelumnya tentang karyawan yang kehilangan motivasi bekerjanya. Dalam artikel yang sama disebutkan: Gallup (lembaga survey terkenal) meriset pada tahun 2023, bahwa 59% warga AS masuk kategori Quiet Quitting. Sangat mengejutkan. Negara yang menerapkan easy hire, easy fire saja angkanya tinggi, bagaimana dengan Indonesia yang disebut memiliki UU Ketenagakerjaan sekaku kain kanebo ya?

Kembali ke judul di atas. Tentunya pengunduran mereka tidak termasuk Quiet Quitting. Mengapa? Berikut beberapa hal yang bisa kita pelajari.

Mereka terkenal dengan sosok pekerja keras. Bambang Susantono, pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perhubungan dan Direktur Asian Development Bank berkedudukan di Manila, Filipina. Dhony Rahajoe, pernah menjabat sebagai Managing Director di Sinarmas Land yang terkenal berhasil membangun BSD City di Tangerang Selatan. Jadi kerja mereka tidak hanya memenuhi standar minimum. Tapi benar-benar bekerja dengan segenap kemampuan dan wewenang yang mereka miliki.

Mereka malah keluar dari pekerjaannya dan tidak makan “gabut” (gaji buta) dengan berleha-leha, malah menurut pengakuan di depan DPR, mereka baru digaji setelah 11 bulan bekerja (Maret 2024) dan selama 11 bulan itu tetap bekerja. Rupanya adalah biasa, sebuah lembaga baru di negeri kita ini harus prihatin dulu karena anggaran baru turun di periode budget tahun berikutnya. 

Dari fakta-fakta tersebut jelas mereka bukan termasuk “quiet quitting”. Malah kalau bisa memberi istilah baru, yang mereka lakukan adalah “loud quitting” sebagai lawan dari “quiet quitting”. Memilih berhenti bekerja walaupun memiliki jabatan tinggi di negeri ini, dan membuat heboh dan orang jadi penasaran kenapa mereka mengundurkan diri yang kemudian diliput sebagian besar media di Indonesia.

Ini semakin menaikkan “nilai” mereka di masyarakat dan memulai budaya “mengundurkan diri” ketika ada hal yang tidak pas menurut mereka. Jadi menurut anda, apa sebab lain sehingga mereka mengundurkan diri? Ada bocoran?