Menjadi pemimpin di perusahaan yang relatif besar dan mapan mempunyai tantangan tersendiri dalam menghadapai subordinate (anak buah) yang tiba-tiba kehilangan semangat kerja. Seperti saya tulis sebelumnya, di negeri konoha ini memang agak sulit melakukan PHK karyawan karena peraturan perundangan yang dari kaca pandang Barat disebut sosialis. Subordinate ini tentunya tidak bisa di PHK karena masih bekerja, hanya karena tidak semangat lagi. Kadang sulit untuk mengeluarkan surat peringatan pertama, kedua, dan selanjutnya, karena si karyawan masih datang walaupun ngantor-nya teng go alias datang pas jam kerja dan pulang juga demikian.
Saya juga pernah menjadi subordinate seperti ini. Saya bekerja di bagian Finance & Accounting, karena memang S1 saya jurusan Akuntasi dan S2 saya bidang finance. Hal yang membuat saya semangat bekerja adalah pekerjan yang sifatnya non-repetitive, misalnya implementasi sistem komputer baru, integrasi sistem banking dengan sistem internal perusahaan, atau menjadi liason officer (PIC penghubung) dengan internal dan eksternal auditor, kebetulan keduanya merupakan pihak outsourcing. Tapi kalau sudah “tutup buku” bulanan, saya merasa tidak ada tantangannya. Ada sih, tapi begitu-begitu saja (menurut saya). Buat sebagian teman pekerjaan ini membanggakan, karena ada alasan untuk lembur (terlihat keren). Berbeda dengan saya, yang berfikir bahwa ada yang salah dengan cara kerja kita kalau sampai harus lembur di setiap awal bulan.
Akibatnya begitu tak ada proyek, saya tidak semangat bekerja. Kebetulan, atasan juga yang lebih senang kerja lembur di awal bulan daripada mencari cara agar bisa kerja lebih efisien. Sampai akhirnya saya merasa cukup bekerja di bagian F&A dan meminta pindah ke bagian lain yang lebih menantang.
Teladan Seorang Pemimpin
Kehilangan motivasi bekerja tidak selalu karena yang saya contohkan di atas. Bisa bermacam-macam, contohnya: masalah internal keluarga, perubahan cara pandang dalam bekerja, atau ada masalah antara atasan dan bawahan atau sesama teman kerja, dan lainnya. Di sinilah peran pemimpin ditantang untuk bisa menghadapi subordinate seperti ini.
Solusinya selalu dimulai dari diri sendiri. Apakah kita sudah meneladani perilaku yang diinginkan? Kalau seorang pemimpin ingin subordinate-nya termotivasi untuk bekerja keras dan cerdas, apakah kita sebagai pemimpin sudah melakukannya? Akan sulit berharap karyawan datang on-time, kalau kita sendiri selalu datang terlambat dalam setiap meeting kan?
Setelah kita meneladani, baru kita masuk ke hal-hal teknis dengan mencari tahu sebab masalah si karyawan. Solusi yang diberikan bisa masih memberi kesempatan subordinate memperbaiki diri dengan membantu memindahkan tempat kerja yang cocok, membantu ybs. bisa mengatasi masalah keluarganya, memberi pengertian perubahan pandangan hidupnya tidak lagi sesuai dengan budaya perusahaan, dan lain-lain. Atau bahkan sampai memberi peringatan, mulai dari lembut sampai keras untuk “membangunkan” dari tidurnya.
Di Sigma Leadership Avalon, penting sekali seorang pemimpin dapat menyeimbangkan “yin dan yang”-nya. Kapan harus lembut dan kapan harus tegas dalam berinteraksi dengan subordinate. Kapan harus memberikan semangat atau motivasi dan kapan menegur dengan lembut, sedang, bahkan keras kepada karyawannya. Tantangannya adalah kapan kita melakukan dengan cara “yin” dan kapan kita melakukan dengan cara “yang”. Penerapan yang tepat “yin” dan “yang” ini yang membuat ilmu kepemimpinan disebut “seni”. Mirip dengan profesi seorang chef. Semua orang tahu bumbu sebuah masakan tertentu adalah A, B, C, dan lain-lain. Tapi komposisi setiap bumbu akan berbeda dengan seorang chef yang disesuaikan dengan selera pelanggannya. Seorang chef yang jago, telah menguasai “seni memasak” ketika tahu dengan tepat jumlah setiap bumbu yang digunakan dalam masakannya agar disukai oleh pelanggannya.
Silakan berbagi pengalaman bagi yang pernah menangani anak buah yang kehilangan motivasi kerja, atau istilah kekiniannya quiet quitting.