Skip to main content

Dalam workshop Avalan di bulan Mei 2024, sempat dibahas dalam salah satu diskusi kelompok, apakah Artificial Intelligence-AI (Kecerdasan Buatan) akan bisa menggantikan kecerdasan manusia? Sebagian besar peserta menjawab AI tidak bisa menggantikan kecerdasan manusia, hanya sebagian kecil yang yakin nantinya AI akan bisa menggantikan kecerdasan manusia.

Aplikasi AI dalam keseharian kita di Indonesia mungkin belum seluas di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris. Bila kita mengoperasikan HP kita lewat SIRI (Iphone) atau ALEXA (Amazon) atau Google Assistant (Android) kita telah menggunakan AI dalam mengoperasikan HP (atau TV). Sama juga dengan ketika kita nonton Youtube dan kita perlu teks terjemahan, kita menggunakan perangkat AI dalam Youtube untuk membantu kita mengerti terjemahannya kata demi kata. Kadang memang tidak tepat, tapi membantu.

Juga bila kita minta tolong mencari hal-hal yang kita ingin tahu lewat “Mbah Google”, sebenarnya kita sedang menggunakan AI. Termasuk juga ketika kita bermain catur dengan komputer, atau menggunakan ChatGPT untuk membantu membuat artikel. Atau yang lebih kompleks ketika mengaplikasikan AI di mobil dikendarai tanpa sopir.

Apa yang kita lihat aplikasi AI di atas, sebenarnya bukan sebuah “kecerdasan” (Intelligence). Kecerdasan secara umum memerlukan kemampuan untuk belajar (ability to learn), alasan/sebab (reason) dan mengerti (understanding). Manusia belajar melalui pengamatan (observasi), pengalaman (experience) dan pendidikan (education). Sedang AI tidak punya kemampuan untuk belajar, tidak perlu alasan dan tidak perlu mengerti, yang penting menghasilkan output. AI belajar dari data besar (big data) menggunakan model algoritma dan statistik. Sangat berbeda dengan cara kecerdasan manusia bekerja.

Manusia bisa dengan mudah belajar dari satu hal kecil, sedang AI perlu jutaan bahkan triliunan data untuk bisa menyamakan kemampuan belajar manusia. Misal, seorang manusia menemukan kupu-kupu yang indah warnanya, perlu jutaan dan triliunan data kupu-kupu yang dimasukkan ke mesin AI untuk bisa menghasilkan kesimpulan yang sama dengan manusia bahwa kupu-kupu ini memang indah.

Pembeda berikutnya adalah kreativitas. Manusia dengan mudah bisa berpikir kreatif dan menghasilkan ide baru. AI dapat menghasilkan hal baru melalui interpretasi dan interpolasi atas data (trend), tapi jelas tidak/kurang orisinil (karena hanya menggunakan data yang data). AI bisa mencontoh gaya Van Gogh melukis, dan melukis lukisan baru seolah karya Van Gogh dengan mempelajari tarikan garis dari lukisan-lukisan Van Gogh. Tapi AI dengan keahlian ini, tidak akan bisa menjadi Van Gogh berikutnya.

Atau AI berhasil mengubah suara dan mimik mulut Presiden Rusia Vladimir Putin seolah bisa berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih (dengan timbre suara yang khas Putin). Tapi ya hanya itu, AI tidak bisa tiba-tiba bisa menggantikan pidato Presiden Putin di depan rakyatnya misalnya (tidak bisa berkreasi baru).

Jadi penggunaan kata “kecerdasan” (Intelligence) dalam AI sebenarnya kurang tepat. Yang dilakukan oleh AI saat ini melalui komputer bukan seperti definisi kecerdasan menurut manusia (ability to learn, reason and understanding). AI adalah teknologi yang membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi yang maju (advance).

Noam Chomsky, bapak linguistik modern, berpendapat bahwa saat ini kita terlalu “mendewa-dewakan” AI. Beliau mengingatkan kita semua bahwa AI punya keterbatasan yang nyata. AI hanya sekedar teknik (engineering) untuk melakukan sesuatu lebih baik dan tidak akan bisa menggantikan pengetahuan (sains).

Kita juga tahu bahwa AI tidak bisa meniru sifat dasar manusia seperti berempati, merasakan emosi dan berpikir kritis.

Jadi menurut Anda, bisa nggak sih AI menggantikan kecerdasan manusia?

 

Eko Nugroho
Mentor dan Vice Chairman The Avalon Consulting
18 November 2024