Dalam tulisan sebelumnya, ada benang merah yaitu politik kantor ini bisa merusak, sehingga perlu dikelola dengan baik. Bila pemimpin bisa mengelola politik kantor ini, maka karyawan akan lebih nyaman dengan lingkungan bekerja yang transparan dan berkeadilan, turn over karyawan bisa ditekan dan ujung-ujungnya adalah produktivitas karyawan yang meningkat.
Kalau kita berselancar di Google mencari cara tentang bagaimana cara kita mengelola politik kantor, maka akan muncul hal-hal seperti ini: kembangkan jaringan kerjamu sendiri, pengertian terhadap orang lain, jaga perilaku kita kepada orang lain, belajar cara bernegosiasi, bila ada konflik dikelola dengan efektif, dan sebagainya. Mirip dengan definisi kepemimpinan kebanyakan, tips-tips yang diberikan lebih fokus kepada seni mengelola orang lain untuk mencapai tujuan seperti promosi atau, setidaknya, terhindar dari menjadi korban politik kantor.
Apa yang beda dengan Avalon dalam memberikan solusi bagi pemimpin, atau karyawan untuk menghadapi politik kantor? Di Avalon para pemimpin diajak untuk mulailah dari diri kita sendiri.“Dimulai dengan menyadari bahwa jabatan tertentu seharusnya dijabat oleh orang yang terbaik menempati jabatan itu. Jika yang terbaik itu adalah sahabatku, rekanku bahkan mungkin pesaingku biarlah itu terjadi. Namun, bila yang terbaik itu adalah aku biarlah aku siap mendapatkan jabatan itu (di re-phrase dari Buku Sigma Leadership hal 154).”
Karakter yang non-egoistik seperti di atas ini memang tidak mudah dimiliki oleh seorang pemimpin. Dari kecil kita sudah diajarkan untuk bersaing. Di sekolah kita dipacu untuk selalu ranking 1 atau masuk 3 atau 5 besar. Masuk dunia kerja juga sama, bersaing dengan orang lain. Rasanya kompetisi itu sudah mendarah daging, konsep yang dimasukkan sejak kecil sampai sekarang. Maka yang muncul adalah ego yang tinggi, dan ini tidak hanya di dunia kerja, di dunia akademis juga terjadi. Malah mungkin peran dunia akademik sangat dominan dalam mengantarkan manusia yang egoistik. Bagi segelintir orang yang berhasil misal lulus dengan IPK tinggi lulus, suma cumlaude, akan semakin memupuk kesombongan diri. Akhirnya yang muncul adalah “merasa” bisa menempati semua jabatan di republik ini.
Padahal kita juga tahu bahwa kecerdasan seseorang itu bermacam-macam. Howard Gardner (Harvard) mencetuskan adanya multiple intelligence atau kecerdasan majemuk. Menurutnya, IQ yang mengacu pada pencapaian akademik seseorang, itu mengacu pada 3 kecerdasan saja: logika-matematika, linguistik, dan spasial. Padahal ada kecerdasan manusia lain didunia. Gardner menyebutkan adanya 9 kecerdasan manusia, berkembang dari tadinya 7.
Selanjutnya Gardner menjelaskan bahwa kecerdasan dalam multiple intelligences meliputi kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), dan kecerdasan eksistensial (cerdas hakikat).
Tuhan telah menciptakan manusia dengan beragam kecerdasan. Bayangkan kalau dunia ini isinya hanya orang ber IQ tinggi. Siapa yang akan menjaga lingkungan hidup dan hutan-hutan kita? Siapa yang akan menciptakan bangunan dengan cita rasa seni tinggi, musik yang indah? Rasanya sepak bola juga tidak akan ada karena orang akan sibuk belajar, dan tidak ada yang belajar bermain sepak bola?
Dengan kecerdasan dan talenta yang kita miliki masing-masing, kita tidak perlu iri dengan orang lain. Yang harus kita lakukan adalah berjuang sepenuh hati menjadi versi terbaik kita. Dengan menyadari setiap orang memiliki talentanya masing-masing, kita bisa terhindar dari karakter egoistik dan bisa menjadi pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri. Bila karakter non-egoistik itu sudah muncul, maka tips-tips di Google akan lebih mudah dilakukan karena perilaku yang kita tunjukkan adalah otentik (bukan kepalsuan) dan didasari oleh ketulusan.