Pada saat kita sudah belajar mindfulness dan mempraktekkannya, kita menjadi berdaya dan wajib berkarya. Kenapa saya menambahkan kata wajib? Karena sesuai pengalaman pribadi saya, pada saat kita hanya merasakan bahagia dari dalam diri dan kita tidak berkarya, maka kita kehilangan kesempatan mencipta karya agung. Dalam proses menciptakan karya agung ini, yang saya alami adalah munculnya fenomena kebahagian dalam proses penciptaaan karya.
Saya sulit menjelaskan hal ini secara psikologi, sampai saya menemukan tulisan Mihaly Csikszentmihalyi yang menjelaskan fenomena yang saya alami ketika mengalami kebahagiaan ketika berkarya (Flow: The Psychology of Optimal Experience). Saya sarikan cerita Mihaly untuk pembelajaran kita bersama.
Mihaly pada masa kecilnya melihat realita bagaimana setelah perang dunia ke 2 di Eropa, kesedihan melanda sebagian besar orang karena kehilangan keluarga, harta, rumah, keamanan, kesempatan sekolah, dll. Namun dia melihat sebagian orang tidak terpengaruh dengan hal-hal itu dan tetap kelihatan bisa menjaga integritasnya, senang, dan optimis. Di sini, Mihaly bertanya-tanya apa yang membuat di dalam diri seseorang yang berbeda yang menghasilkan ekspresi yang berbeda pada saat mengalami hal yang sama.
Mihaly juga melihat fenomena bahwa “kebahagiaan” tidak berbanding lurus dengan tingkat pendapatan seseorang. Sebuah statistik di AS mulai tahun 1956-2022 menunjukkan peningkatan pendapatan rata-rata orang AS dari $9,000 menjadi $22,500 (setelah penyesuaian inflasi). Namun jumlah orang yang “bahagia” di AS tetap di sekitar 30%. Mihaly melihat bahwa materi (hal-hal di luar diri) menurun dan materi yang meningkat tidak berbanding lurus dengan “kebahagiaan”. Ini menunjukkan fakta bahwa hal-hal di luar diri manusia tidak menjadikan seseorang itu “bahagia”. Mihaly berkesimpulan bahwa diri kita sendirilah yang mempunyai kendali atas kebahagiaan kita sendiri.
Mihaly kemudian mulai melakukan wawancara ke ribuan orang (awalnya artis dan ilmuwan, yang kemudian atlet, dll) dan bertanya: apa yang membuat Anda menghasilkan karya yang hebat walaupun Anda tahu belum tentu menghasilkan uang yang banyak atau membuat Anda terkenal, tapi Anda melakukannya dengan suka cita dan menjadikan hidup menjadi berharga dan berarti (worth doing and meaningful).
Seorang pengarang lagu terkenal menceritakan bahwa saat saya berkarya dengan baik, saya mengalami saat “ekstasi”. Mihaly menjelaskan ekstasi adalah keadaan mental saat karya besar yang diciptakan bukan karena kita melakukan hal-hal rutin dalam keseharian. Menurutnya ekstasilah yang membuat karya besar manusia pada zaman dulu (China, Yunani, Hindu, Mesir, Inca-Maya, dll). Candi atau bangunan yang mereka buat saat itu adalah hasil dari ekstasi dan bukan hasil pekerjaan sehari-hari biasa.
Menurut Mihaly, pengarang lagu saat mengalami “ekstasi” seperti mengalami realitas yang berbeda dengan yang dialami sehari-hari dan langsung lancar mencipta karya baru di atas selembar kertas. Pengalaman menulis lagu ini sangat intens sehingga seolah-olah dirinya tidak ada. Pada saat itu semua kemampuannya tercurahkan dalam membuat lagu, sehingga tidak lagi menyadari tubuhnya atau masalah-masalah pribadinya juga menjadi tidak dirasakan. Bahkan tidak bisa merasakan lapar atau capek saat ekstasi terjadi. Jari-jarinya langsung menulis lagu secara otomatis. Mihaly kemudian menjelaskan tentunya proses mencipta lagu tidak terjadi dengan dirinya yang tidak bisa menulis lagu. Itu hanya terjadi setelah seseorang menguasai keterampilan (skill) dalam hal ini mencipta lagu. Orang-orang yang di-interview ini menjelaskan proses ini sebagai proses “spontaneous flow” (mengalir secara spontan).
Mihaly menjelaskan bahwa “flow” ini juga terjadi pada CEO (pemimpin perusahaan atau organisasi). Beberapa CEO yang di-interview-nya menjelaskan bahwa “sukses menurut saya adalah memberikan kontribusi kepada dunia dan bahagia saat melakukannya” atau “menemukan semangat saat melakukan yang terbaik dan merasakan “flow” saat bekerja”.
Mihaly menjelaskan kondisi “flow” sebagai:
- terlibat 100% terhadap yang dikerjakan – fokus dan konsentrasi
- sensasi ekstasi – berada di luar realitas sehari-hari
- kejelasan diri yang tinggi – tahu apa yang harus dikerjakan dan tahu seberapa bagus pekerjaan kita
- mengetahui bahwa aktivitas ini bisa dilakukan – kita punya keterampilan yang cukup untuk melakukannya walaupun tidak mudah
- perasaan tenang (serenity) – tidak ada kecemasan
- waktu sepertinya berlalu dengan cepat
- menjadi bagian yang lebih besar dari diri sendiri
- motivasi dari dalam diri – apa pun karya dari flow sudah cukup menjadi penghargaan (reward)
Kondisi flow mensyaratkan keseimbangan antara keterampilan (skill) atau kemampuan kita dengan tantangan yang dihadapi. Flow tidak terjadi bila Anda diminta melakukan pekerjaan di mana Anda tidak memiliki kemampuan sama sekali. Saya pasti tidak akan bisa mengalami kondisi “flow” kalau diminta menyanyi apalagi menggubah lagu. Atau flow tidak terjadi ketika tantangan terlalu mudah.
Dalam keseharian kita tidak selalu dalam kondisi “flow”, namun ada dua kondisi yang mudah untuk masuk ke “flow”. Yang satu adalah “arousal” (gairah), yaitu saat tantangan yang dihadapi lebih tinggi dari keterampilan yang kita miliki. Kondisi ini dengan mudah masuk ke “flow” dengan meningkatkan keterampilan kita (membaca buku, belajar hal baru, dll). Yang kedua adalah “control”, yaitu saat tantangan lebih rendah dari keterampilan kita. Kondisi ini dengan mudah masuk ke “flow” dengan memacu diri untuk melakukan tantangan yang lebih besar.
Menurut Mihaly, sayangnya, kebanyakan kita berada pada kondisi apathy (apatis). Kita tidak mengasah ketrampilan dan kita tidak mau mengambil tantangan untuk dihadapi. Kontribusi terbesar dari apathy adalah nonton tv, netflix, berlama-lama di kamar mandi, atau duduk melamun. Nonton tv bisa menjadi flow (secara statistik hanya 7%-8%) ketika kita memilih tontonannya dan mendapat masukan (feedback) darinya.
Ada yang mau cerita pengalaman ketika mengalami “flow”?
Eko Nugroho
Mentor dan Vice Chairman The Avalon Consulting
4 September 2024
Sumber foto: researchgate.net