Skip to main content

Budaya kompetisi sebenarnya sudah diajarkan sejak kita kecil. Saat duduk di bangku sekolah, kita tidak diajarkan untuk berfokus pada pencapaian atas diri sendiri, tetapi kita diajak untuk melihat pencapaian orang lain dan bagaimana saya terlihat lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Hasil di sekolah pun yang ditanyakan para orang tua adalah kamu rangking berapa nak rapornya? Berapa nilai ujianmu? Semua berorientasi pada hasil yang tertinggi atau terbaik.

Maka tak heran bila kemudian anak-anak yang dididik dengan pola kompetitif seperti ini tumbuh menjadi manusia dewasa yang kompetitif, tidak mau kalah, karena “harga” diri ditentukan oleh peringkat, atau pencapaian. Sementara itu saking biasanya, sudah menjadi sikap yang dianggap normal dan harus dimiliki bila seseorang ingin maju dalam karier dan menjadi orang sukses. Sehingga sikap kompetitif seringkali tidak disadari sebagai hal yang destruktif dan menjadi sumber penderitaan, dengan bonus stres, sakit fisik dan masalah mental yang kronis.

Benarkah demikian? The Avalon Consulting justru ingin mengajak para pembaca melihat dalam kacamata yang berbeda, dan memasuki kesadaran baru bahwa kesuksesan bisa diraih tanpa harus bersikap kompetitif yang destruktif itu. Bagaimanakah caranya?

Mari kita mulai dengan mengenali watak kompetitif kita dulu, dengan mengajukan tujuh pertanyaan di bawah ini kepada diri sendiri:
1. Apakah saya selalu ingin mengalahkan orang lain?
2. Apakah saya mencari cara agar merasa lebih baik daripada orang lain?
3. Apakah saya merasa frustasi jika hasil tidak tercapai (burn out)?
4. Apakah saya ingin mendapatkan sesuatu lebih banyak (serakah)?
5. Apakah saya iri pada peran dan jabatan orang lain?
6. Apakah saya suka memaksakan diri?
7. Apakah saya hanya berfokus pada target?

Jika jawaban yang muncul terbanyak adalah “ya” daripada “tidak”, berarti Anda termasuk orang yang kompetitif. Setyo Hajar Dewantoro, Chairman The Avalon Consulting, membantu untuk mengurai mindset yang keliru terkait kompetisi.

Banyak orang berilusi, “Jika jabatanku tinggi dan punya banyak uang, maka hidupku akan semakin bahagia. Kalau jadi orang populer dan terkenal, nanti hidupku bahagia.”

Ilusi lain, “Sumber daya itu jumlahnya terbatas, yang bisa bertahan hidup adalah mereka yang bisa mengalahkan orang lain.”

Mindset yang keliru membuat kita menumbuhsuburkan budaya kompetisi dalam keseharian kita, padahal jelas budaya ini menimbulkan penderitaan. Namun, di The Avalon Consulting memberikan rumusan antitesis dari kompetisi, yakni kolaborasi. Kolaborasi dibutuhkan agar kita bisa memenuhi kebutuhan kita dan menyempurnakan kekurangan dari diri kita. Faktanya, kita tidak bisa melakukan semua hal secara sendiri. Seperti, tukang cukur rambut yang tetap memerlukan bantuan orang lain untuk mencukur rambutnya.

Setiap manusia mempunyai rancangan Ilahi (divine plan). Hal ini terkait dengan talenta yang kita miliki. Setiap diri mempunyai ukuran keberhasilan yang unik dan tidak untuk diperbandingkan yang satu dengan yang lainnya. Tuhan sudah menyediakan segala sesuatunya dengan jumlah yang cukup dan tepat, tanpa perlu adanya keserakahan.

“Hukum Semesta menyatakan bahwa dalam merealisasikan rancangan Ilahi, setiap orang didesain untuk saling mendukung (kolaborasi), baik untuk membuat masing-masing orang mencapai rancangan Ilahi-Nya maupun merealisasikan rancangan Ilahi yang bersifat kolektif.”

Contohnya, saat kita mengerti jatah (takaran) diri sebagai office boy, maka lakukan pekerjaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Silakan menjadi the best office boy in the world! Seandainya yang berjatah menjadi office boy dipaksa menjadi Chief Executive Officer (CEO), tentu saja perusahaan akan bubar. Hal ini menyadarkan kita tentang pentingnya kolaborasi.

Cara yang paling benar dan tepat untuk menjalani hidup ini adalah berbahagia dengan peran yang saat ini sedang kita jalankan. Dalam terminologi Jawa disebut sebagai “Nrimo ing Pandum”, yakni menerima jatah pribadi. Saat kita bisa bersyukur atau berterima kasih atas semua hal yang datang dalam kehidupan kita, maka tidak akan ada rasa ‘kurang’ yang jadi penyebab serakah. Dengan hati yang penuh penerimaan, kita mampu menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya.

“Kita semua dilahirkan ke dunia dengan talenta yang dianugerahkan kepada kita, ada peran yang harus kita ambil dan mainkan. Dalam hal ini, jelas tidak dibutuhkan berkompetisi dengan orang lain, hanya fokus menjalankan rancangan ilahiNya.”

Penerimaan akan peran, bersyukur, yang dibarengi upaya memberikan yang terbaik dalam kolaborasi adalah pangkal kebahagiaan. Sementara sifat kompetitif yang didorong keserakahan dan ego adalah pangkal penderitaan, yang seringkali harus ditebus dengan kesehatan fisik dan mental yang mengalami penurunan fungsi. Anda mau pilih yang mana?