Skip to main content

Tadi malam saya mengajar di sesi pamungkas Avalon Leadership Online Course (ALOC) Batch 4. Beberapa hal saya ungkap untuk mendobrak kesadaran peserta. Di antaranya saya bercerita, jika menonton film tentang politik di AS, semisal film tentang kontestasi calon presiden, kita bisa melihat bahwa nyaris semua calon presiden itu adalah obyek beautifikasi dari para manajer kampanye. Paras, senyum, kata-kata dan perilaku mereka diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan imajinasi ideal para pemilih. Calon presiden terkesan tak lebih dari sekadar produk yang harus dikemas dan di-branding sedemikian rupa agar diterima pasar. Tak ada otensitas. Para calon presiden yang ingin terpilih pun mengikuti arus ini, yang penting menang. Nah, saya melihat anomali pada Donald Trump, dia ini tampil suka-suka dia. Saya suka dia karena dia otentik, tak menutupi realitas dirinya, termasuk bahwa dia adalah mantan bad guy.

Menengok panggung politik di Indonesia yang meng-copy paste AS dalam penerapan demokrasi pasar, saya juga melihat fenomena ini: umumnya politisi, calon presiden, adalah para aktor panggung. Mereka betul-betul mengikuti pengaturan para konsultan politik yang dianggap mengerti tentang selera pasar Indonesia. Mereka harus melakukan semua manuver artifisial agar mendongkrak elektabilitas. Sungguhlah sulit menemukan pemimpin otentik di perpolitikan kita. Mau jargon apapun yang dipakai, “relijius” atau “nasionalis”, itu cuma di bibir dan aksesoris busana. Jikapun berani tampil beda, itupun karena sedang mencari sensasi, sedang coba mengarungi gelombang kontroversi demi naiknya popularitas.

Saya punya keprihatinan soal ini, dan tentu saja punya impian. Tradisi kepalsuan dalam kepemimpinan harus diakhiri. Selayaknya visi kita ke depan, banyak lahir pemimpin yang otentik, pemimpin yang punya keselarasan antara isi hati, pikiran, kata-kata dan tindakannya. Perlu muncul para pemimpin yang perilakunya konsisten menerjemahkan idealitas di pikirannya. Indonesia butuh pemimpin yang berani bersikap selaras dengan kebenaran yang ia yakini sepenuh hati, tak peduli publik memuji atau mencercanya.

Saya sendiri sungguh-sungguh belajar untuk konsisten menjadi pemimpin yang otentik. Perilaku saya adalah cerminan dari hati dan pikiran saya. Tindakan saya selalu selaras dengan kebenaran yang saya pegang teguh sepenuh hati. Saya berani melawan arus dengan segala resikonya. Saya siap dicap apapun untuk pilihan ideologi yang saya ambil dan saya praktikkan dalam keseharian. Saya tak butuh disukai lewat kepalsuan; saya memilih hidup dalam keotentikan – yang suka silakan merapat, yang gak suka silakan menjauh. Saya bukan tipe orang yang bisa berkata manis penuh bumbu untuk mendapatkan simpati dan dukungan Anda.

Bagaimana kita bisa menjadi pemimpin otentik? Pengalaman saya menunjukkan, jalannya adalah ketekunan dalam hening cipta. Hening cipta yang dilakukan dengan tepat dan berkelanjutan pasti memurnikan jiwa, pasti meluruhkan segala topeng kepalsuan. Hening cipta mengantar kita pada kesalarasan dan kesatuan antara pikiran, kata dan perbuatan. Kita dibuat apa adanya, asli, tanpa bumbu penyedap sintetis, tanpa pencitraan yang tak realistik.

SHD

27 Agustus 2023